Cengkeraman Asing di Indonesia

(Sumber: Adhes Satria, “Cengkeraman Asing di Negeri Sendiri”, Sabili No. 18 TH.. XVI 26 Maret 2009 / 29 Rabiul Awal 1430 H, hal. 38-43)

John Perkins dalam bukunya “Confession of an Economic Hitman” (2004) mengaku bahwa selama 30 tahun ia menjadi “ekonom pembunuh bayaran” di NSA (National Security Agency), AS. Tugas Perkins adalah menganalisis bagaimana caranya menghancurkan ekonomi negara-negara berkembang dan miskin. Salah satu caranya, meminjamkan uang miliaran dolar kepada negara-negara tertentu sehingga mereka tak mampu membayarnya. Jika sudah terjepit, baru kemudian negara-negara tersebut diperas ekonominya.

Terbukti, di zaman Orde Baru, Indonesia mendapatkan pinjaman yang luar biasa besar dari negara-negara donor yang didikte AS melalui IMF, Bank Dunia, IGGI (CGI), dan lembaga keuangan internasional (Barat) yang lain. Alhasil pinjaman tersebut malah membelenggu Indonesia sendiri, karena tak mampu membayarnya. Dari sanalah, lalu masuk konsep perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi. Dalam kondisi Indonesia “tak mampu bayar utang”, negara-negara besar itu menekan agar Indonesia menjual aset-asetnya yang “kinclong”. Maka melayanglah aset-aset negara yang strategis seperti Indosat dan perbankan nasional.

Menurut pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, intervensi asing dimulai dari pembentukan perundangan sampai pada penguasaan perusahaan-perusahaan Indonesia. Sebagai contoh, penyusunan Undang-undang tentang minyak dan gas. Hal itu dibuktikan dengan adanya dokumen-dokumen semacam radiogram (teletex) dari Washington kepada Dubes AS di Indonesia, J Stapleton Ray. Dalam dokumen tersebut tertulis: “Naskah RUU minyak dan gas diharapkan dikaji ulang parlemen Indonesia pada bulan Januari.”

Kasus yang sama juga terjadi pada saat pembentukan Undang-undang Kepailitan. Seperti diketahui, yang sangat menekankan UU Kepailitan pada saat itu adalah IMF dan kreditur asing. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 pun disusun tanpa pemerintah dan DPR menyadari adanya nuansa pengamanan kepentingan pihak asing.

Lucunya, permasalahan muncul ketika pihak asing sendiri yang terkena undang-undang tersebut mengusulkan agar UU Kepailitan direvisi. Padahal mereka sendiri yang membuat. Kasus yang menimpa Manulife dan Prudential, misalnya. Ini menunjukkan, liberalisasi berbagai sektor strategis di negeri ini disiasati dengan pola yang sangat sistematis dan rapi.

Ketika masyarakat di negeri ini euforia dengan reformasi, berbagai UU energi primer telah diubah oleh asing. UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pembuatannya dibiayai oleh USAID dan Bank Dunia sebesar 40 juta dolar AS. UU No. 20/2002 tentang kelistrikan dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB sebesar 450 juta dolar AS. UU No. 7/2004 tentang sumber daya air pembuatannya dibiayai oleh Bank Dunia sebesar 350 juta dolar AS.

Intervensi asing rupanta tidak hanya terjadi pada UU Migas, namun juga pada UU lainnya seperti UU Bank Indonesia, UU Mineral dan Batubara (Minerba), UU Perkebunan, UU Penanaman Modal, sampai UU Penyiaran, sehingga rakyat makin terjajah dan miskin. Liberalisasi sektor energi itu dimulai ketika Soeharto menyerahkan kedaulatan ekonomi Indonesia kepada IMF dan mulai terlihat di masa pemerintahan Megawati dan SBY. UU Migas misalnya, sengaja dibuat untuk menguasai sektor energi Indonesia mulai dari hulu (penetapan harga minyak) hingga ke hilir (pembuatan tabung gas saat konversi dari minyak tanah ke gas).

Di sektor migas misalnya, 84% produksi (329 blok) yang dimiliki Indonesia kian tergadaikan bila melihat luas lahan konsesi yang dikuasai asing untuk migas mencapai 95,45 juta hektar. Luas daratan seluruh Indonesia sendiri mencapai 192.257.000 hektar, sedangkan luas hutan Indonesia seluas 101.843.486 hektar.

Data Departemen Kehutanan menunjukkan, bahwa pada akhir tahun 2005, pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan HPH seluas 11,6 juta hektar dari hutan-hutan Papua yang masih perawan kepada 65 perusahaan penebangan. Dan ironisnya, izin yang dikeluarkan hanya segelintir saja yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan dari Indonesia. Sebagian besar dimiliki justru oleh perusahaan-perusahaan asing yang mengeruk keuntungan besar dan meninggalkan kerusakan akbar bagi hutan Indonesia. (Sumber: “Negeri yang Menuju Gersang”, Sabili No. 11 TH. XVI 18 Desember 2008 / 20 Dzulhijjah 1429, hal. 66)

Jika ingin jujur, penyebab kelangkaan BBM adalah akibat rusaknya sistem yang digunakan pemerintah. Ujungnya adalah diterapkannya UU 22/2001 tentang minyak dan gas bumi yang sangat liberal. Pemerintah, melalui UU ini, lepas tanggung jawab dalam pengelolaan migas. Dalam UU ini: (1) Pemerintah membuka peluang pengelolaan migas karena BUMN Migas nasional diprivatisasi; (2) Pemerintah memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun domestik untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak; (3) Perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga sendiri.

Di Indonesia ada 60 kontraktor migas milik asing yakni: ExxonMobile (Blok Cepu dan Natuna), Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco (menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%). Lalu Conoco, Repsol, Shell (Inggris-Belanda), Unocal (AS), ENI (Italia), Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, dan Japex (menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%); dan perusahaan independen (menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%). Aset Indonesia yang dikuasai asing lainnya adalah Freeport (Papua) dan Caltex di Riau. Hampir 90% minyak dan gas bumi Indonesia telah dikuasai asing. Tatkala harga minyak mentah dan gas dunia naik, semuanya dijual ke luar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut.

Sektor lain akibat salah urus pemerintah adalah listrik. Byar-pet-nya (mati-hidupnya listrik) PLN disebabkan oleh kelangkaan pasokan energi primer (batubara dan gas) di pembangkit-pembangkit yang ada. Krisis listrik dengan segala macam pencitraan negatif tentang PLN merupakan paket liberalisasi energi ini. PLN terus dicitrakan negatif dan tidak efisien. Dengan kondisi PLN demikian, menurut UU Kelistrikan No. 20/2002, maka arahnya PLN ini akan diswastakan. Perlu diketahui, bahwa harga minimal sebuah pembangkit listrik adalah Rp 5,5 triliun. Dengan harga sebesar itu, dipastikan yang akan membeli pembangkit tersebut adalah swasta asing.

Yang tak habis pikir, sektor budidaya mutiara di Indonesia saat ini didominasi asing (sekitar 90%), terutama Australia dan Jepang. Padahal pembudidayaannya relatif gampang. Sedikitnya pemain lokal yang mengembangkan budidaya mutiara adalah akibat kendala modal. Pasalnya, bank-bank besar enggan memberi kredit kepada pengusaha lokal. Jelas saja, investor lokal sulit mengembangkan usaha di budidaya mutiara, karena susah mendapat kredit dari perbankan.

Lebih mengejutkan lagi, data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyebutkan, tahun 2006 jumlah kapal ikan berbendera asing yang diizinkan beroperasi di wilayah Indeonsia terutama di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebanyak 712 kapal. Kabarnya, sejak tahun 2005-2007, DKP secara bertahap telah menghentikan izin-izin operasi kapal ikan asing dari negara Filipina, Thailand, dan Cina di perairan Indonesia. Bahkan, pemerintah telah mewajibkan perusahaan penangkapan ikan asing yang beroperasi di perairan Indonesia untuk mendirikan industri pengolahan ikan di tanah air.

Potensi laut yang tak kalah besarnya adalah jasa pengangkutan atau pengiriman barang melalui laut (forwarding) dan bisnis pengangkutan kargo melalui laut (shipping). Di sektor ini lagi-lagi para operator kapal kargo Indonesia kalah bersaing dengan para forwarder asing. Ternyata 46,8% armada yang wara-wiri di perairan Indonesia selama ini adalah kapal-kapal milik asing.

Di dunia perbankan, asing pun mencengkram Indonesia. Menurut riset Indef, per Maret 2005, jika bank-bank yang dimiliki pihak asing digabungkan, mereka ternyata menguasai 42,33% aset perbankan nasional. Nilai aset sebesar itu jauh melebihi aset bank-bank berstatus BUMN. Celakanya, dominasi pihak asing itu tak hanya dalam jumlah aset perbankan, tapi juga dalam penghimpunan dana masyarakat. Bukan main, selisih dana masyarakat yang dihimpun bank milik asing dengan bank BUMN mencapai jumlah Rp 120,53 triliun. Sebuah jumlah yang cukup besar.

Dari rezim ke rezim, aset negara telah diperjual-belikan atas nama liberalisasi perdagangan. Masih segar dalam ingatan, ketika Indosat dijual negara ke perusahaan Singtel Singapura. Padahal Indosat—perusahaan telekomunikasi yang punya Palapa, satelit kebangsaan bangsa—jelas-jelas sehat dan menguntungkan. Jika Bung Karno masih hidup, niscaya dia marah besar: “Inilah penjajahan gaya baru, neokolonialisme, yang harus dienyahkan dari bumi pertiwi.”

Privatisasi (penjualan) BUMN di Indonesia telah dilakukan sejak rezim Orde Baru. Pemerintah menjual 35% saham PT Semen Gresik (1991), 35% saham PT Indosat (1994), 35% saham PT Tambang Timah (1995), 23% saham PT Telkom (1995), 25% saham BNI (1996), dan saham PT Aneka Tambang (1997). Kebijakan privatisasi pada masa Orde Baru ini dilakukan untuk menutupi pembayaran hutang luar negeri (HLN) Indonesia yang jumlahnya terus membengkak.

Pada tahun 1998, rezim Harto kembali menjual 14% saham PT Semen Gresik kepada perusahaan asing, Cemex; 9,62% saham PT Telkom; 51% saham PT Pelindo II kepada investor Hongkong; dan 49% saham PT Pelindo III kepada investor Australia. Tahun 2001 pemerintah lagi-lagi menjual 9,2% saham Kimia Farma, 19,8% saham Indofarma, 30% saham Socufindo, dan 11,9% saham PT Telkom.

Sejak ekonomi Indonesia berada dalam pengawasan IMF, Indonseia ditekan untuk melakukan reformasi ekonomi—program penyesuaian struktural—yang didasarkan pada Kapitalisme-Neoliberal. Reformasi tersebut meliputi: (1) campur tangan pemerintah harus dihilangkan; (2) penyerahan perekonomian Indonesia kepada swasta (swastanisasi) seluas-luasnya; (3) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi; (4) memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang lebih besar.

Dalam program privatisasi, Menteri Negara BUMN, Sofyan Djalil, pernah beralasan, “Privatisasi BUMN dilakukan tidak untuk menjual BUMN, melainkan untuk memberdayakan BUMN itu sendiri, sehingga akan menjadikan BUMN lebih transparan dan dinamis.” Kenyataannya, privatisasi tidak seperti yang digambarkan pemerintah, yakni bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN. Pasalnya, yang dimaksud masyarakat bukanlah masyarakat secara keseluruhan, tetapi kelompok masyarakat secara khusus, yakni mereka yang punya uang (investor).

Privatisasi terjadi karena pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengelola negara. Tidak aneh, setiap tahun pemerintah hanya bisa menjual aset/kekayaan negara dengan frontal. Akibatnya, kekayaan negara terus menyusut, sedangkan hutang negara terus bertambah. Pada 19 September 2008 lalu, parlemen telah memberikan lampu hijau untuk proses privatisasi bagi tiga BUMN: PT Krakatau Steel, PT Garuda Indonesia, dan PT Bank Tabungan Negara (BTN).

BUMN lain yang bakal dilego adalah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, PTPN IV, dan PTPN VII. Pemrintah sendiri sudah siap siaga memprivatisasi sekitar 35 BUMN. Pada tahun 2007, Wapres Jusuf Kalla mengemukakan bahwa dari 135 BUMN yang dimiliki pemerintah, jumlahnya akan diciutkan menjadi 69 di tahun 2009, dan 25 BUMN pada tahun 2015. Artinya, sebagian besar BUMN strategis itu bakal dijual ke pihak swasta/asing, bukan ke masyarakat.

Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan bahwa privatisasi BUMN menjelang pemilu sangat terkait dengan penggalian dana parpol. ICW mensinyalir, dalam rencana privatisasi BUMN tersebut terdapat agenda pengumpulan dana dalam rangka pemilu 2009. Tak dipungkiri, BUMN bukan hanya sebatas bendahara negara saja, melainkan juga bendahara partai yang berkuasa. Boleh jadi, inilah yang menyebabkan sejumlah parpol menunda-nunda untuk melaporkan dana kampanye plus rekening khususnya ke KPU. Jangan-jangan ada aliran yang tak sehat.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.