Ini Adalah Kisah Geopolitik Terbesar di Zaman Kita

Oleh: Ryan Tubridy
14 Desember 2016
Sumber: Radio RTÉ

Bersama banyaknya ulasan media tentang bencana yang berkembang di Suriah, saling tunjuk antarpetempur, volume informasi yang beredar di media sosial—kadang setengah-setengah, kadang misinformasi terang-terangan—ada satu hal yang sangat jelas dan tak bisa diperdebatkan. Krisis kemanusiaan dengan proporsi tiada banding sedang terhampar di depan mata kita.

Kredit foto: OZAN KOSE/AFP/Getty Image

Banyak pihak di Barat mempunyai prasangka tentang Suriah dan kawasan secara umum, hingga melahirkan prasangka tambahan tentang jutaan orang yang lari dari krisis.

Berdasarkan semua ini, ada gunanya mendengar suara-suara profesional media tradisional yang telah meluangkan waktu untuk mengunjungi dan meliput dari garis depan krisis. Dan dalam acara Ryan Tubridy Show, salah satu suara itu menghadirkan kejernihan pada beberapa isu yang menjadi perhatian.

“Seiring memburuknya perang, saya rasa penting rakyat Irlandia sedikit lebih memahami apa yang sedang terjadi. Ini adalah kisah geopolitik terbesar di zaman kita. Eksodus masal terbesar sejak Perang Dunia II. 7 juta orang telah meninggalkan Suriah, bukan karena ingin, tapi harus.”

Stephen Rae adalah kepala editor Independent News and Media dan pernah mengunjungi Suriah dua kali, pada 1990-an silam. Dia selalu merasa orang Timur Tengah sangat bersahabat, ramah, dan memikat. Dia juga punya teman-teman di Suriah. Jadi ketika perang pecah pada 2011, dia menaruh perhatian tajam.

Stephen baru kembali dari kamp pengungsi bernama Gaziantep, di selatan Turki, negara yang saat ini menampung sampai 3 juta pelarian, dari total 7 juta orang. Banyak lainnya berlabuh di Lebanon, sebagian di Yordania, dan banyak yang melakukan perjalanan berbahaya ke Eropa.

Di Gaziantep, banyak dari para pengungsi adalah “orang-orang yang hancur, rapuh, dan rawan”, menurut Stephen. “Banyak dari mereka adalah anak yatim, banyak dari mereka janda, yang kehilangan suami dalam konflik.”

Tapi ada satu prasangka yang secara khusus ingin Stephen jernihkan.

“Mayoritas dari mereka tak ingin datang ke Eropa, mereka ingin tetap di Turki sampai perang berakhir, dan sesudah itu mereka ingin segera pulang. Eropa tidak menarik bagi banyak orang ini.”

Ryan dan Stephen juga bicara panjang-lebar soal berkembangnya “berita palsu” dan kesulitan yang dihadapi banyak orang dalam membangun opini berwawasan, dengan begitu banyak komentar penuh prasangka di media sosial khususnya. Ini terutama sangat nyata selama pemilu presiden AS baru-baru ini di mana, bisa dibilang, berita palsu telah mendongkrak calon Republik.

Cerita-cerita yang mengklaim Paus menyokong Donald Trump, di satu sisi, dan lainnya mengklaim Donald Trump pernah menghina para pemilih Republik sebagai “paling goblok di dunia”, menjalari banyak linimasa Facebook dan feed Twitter selama pemilu. Dua-duanya tidak benar, dua-duanya dikarang, dua-duanya dipercaya luas.

Wawancara utuh dengan Stephen Rae tentu layak didengar, dan Anda bisa menyimaknya dengan mengklik di sini.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.