Bagaimana Kremlin Memanipulasi Krisis Pengungsi Eropa

Oleh: John R. Schindler
6 April 2016
Sumber: Observer

Intelijen Rusia dapat dideteksi dalam gelombang migrasi besar yang melanda Eropa. Apa ini artinya untuk keamanan Barat?

Perwira polisi Rusia di luar Kremlin di Moskow.
(Foto: Natalia Kolesnikova/AFP/Getty Images)

Kini tak seorangpun dapat menyangkal bahwa krisis pengungsi yang menimpa Eropa tahun lalu telah mengubah lanskap politik benua tersebut. Kedatangan jutaan migran, utamanya dari Timur Tengah dan Afrika, dengan dorongan dari beberapa pemimpin Eropa, telah melahirkan gempa politik yang berpotensi membentuk ulang politik Eropa secara signifikan.

Bahkan orang-orang Eropa yang semula mendukung upaya Angela Merkel, kanselir Jerman dan politisi paling berpengaruh di Uni Eropa, untuk menyambut jutaan pengungsi mulai mengungkapkan keraguan terbuka terhadap usaha ini. Pekan ini, menteri luar negeri Austria, yang negaranya baru beberapa bulan lalu menyambut puluhan ribu migran, mengungkapkan sikap Wina secara ringkas: “Konsep tanpa perbatasan tidak akan berhasil.”

Pernyataan ini berimplikasi mendalam bagi UE yang mulai mengadakan kembali pemeriksaan perbatasan nasional, setelah menghilang di sebagian besar Uni Eropa bersama lahirnya Area Schengen dua dekade silam. Dalam rangka membendung gelombang migran yang berkembang, pengamanan perbatasan muncul kembali di UE. Prospek masuknya jutaan migran lain ke UE melalui Balkan musim panas ini membuat polisiti dan pejabat keamanan di seluruh Eropa ketakutan.

Sementara itu, orang-orang Eropa yang skeptis terhadap tindakan Ny. Merkel membuka pintu air bagi jutaan migran sedang bersukaria dengan “apa gue bilang”. Kontroversi politik hebat menyusul, didorong oleh kejahatan migran dan kenyataan bahwa menyerap pendatang baru dalam jumlah besar—banyak dari mereka tak punya keterampilan dan buta huruf bahkan dalam bahasanya sendiri—akan memakan waktu dan biaya jauh lebih banyak daripada yang dikatakan kepada khalayak Eropa tahun lalu.

Belum lagi kenyataan bahwa mayoritas migran adalah Muslim, yang nilai-nilainya kurang bertautan dengan UE sekuler pascamodern, sementara sebagian dari mereka diyakini radikal. Sebagai buntut dari kejahatan teroris jihadis semisal serangan Paris November lalu dan pembantaian di Brussels bulan lalu, banyak orang Eropa merasa bahwa memasukkan satu saja teroris lain sudah terlalu banyak. Rata-rata warga di negara-negara UE kini peduli soal keamanan, meskipun kebanyakan kelas politisi mereka lambat menyadari ini.

Akan tetapi, beberapa politikus sedang memanfaatkan ancaman baru ini, dan tak banyak dari mereka berasal dari partai-partai arus utama. Di Prancis, Front Nasional (FN) kanan-jauh melonjak dalam jajak pendapat berkat garis kerasnya mengenai migran dan terorisme, sementara di Jerman pun, di mana kanan-jauh secara politik tidak diterima sejak 1945, partai-partai anti-imigran naik pesat. Yang paling penting adalah terobosan Alternative for Germany (AfD) dalam pemilu tingkat negara bagian akhir-akhir ini. Mereka tak bisa lagi dianggap gerakan pinggiran, dan mereka sedang berupaya serius untuk mencuri suara dari koalisi berkuasa kanan-tengah di Berlin, yang banyak pemilihnya merasa jijik pada kebijakan permisif dan mahal Ny. Merkel terkait pengungsi.

Era baru politik sayap kanan telah muncul di sebagian besar UE tahun lalu, digendong krisis pengungsi. Kecenderungan ke arah nasionalisme dan xenofobia, yang tumbuh selama bertahun-tahun lantaran rasa frustasi terhadap mikromanajemen pihak Brussels, telah meledak di ruang terbuka dan kecil kemungkinannya untuk menghilang dalam waktu dekat. Ini berarti politik Eropa akan terfokus pada dampak signifikan gelombang migran secara budaya, ekonomi, dan keamanan untuk tahun-tahun ke depan.

“Siapa untung?” adalah pertanyaan kunci yang diajukan oleh banyak pengamat Eropa pada bulan-bulan terakhir karena para migran telah membantu menggeser politik UE secara tegas ke kanan. Sulit untuk tidak melihat bahwa banyak dari partai-partai kanan-jauh yang kini menuai badai di seluruh UE mempunyai pandangan positif terhadap Rusia-nya Vladimir Putin. Kubu kanan yang sedang menanjak di UE mengagumi Kremlin atas penekanan kerasnya pada nilai-nilai tradisional, kedaulatan negara, dan toleransi nol terhadap jihadisme. Demo-demo anti-imigran di Jerman menampilkan para pengunjuk rasa yang melambaikan bendera Rusia secara mencolok, selain bendera Jerman.

Ini lebih dari sekadar simpati. FN Prancis telah menerima dana jutaan dolar dari Kremlin, sementara AfD Jerman tampaknya juga mendapat untung dari sumbangan Rusia. Maka tak heran para pemimpin partai-partai ini berkata hangat dan penuh pujian tentang Tn. Putin dan rezimnya, memandang Rusia sebagai benteng konservatisme dan sekutu melawan invasi migran.

Pendanaan diam-diam Rusia untuk kanan-jauh Eropa bukanlah barang baru (dan mesti disampaikan bahwa intelijen Rusia juga menyediakan dukungan klandestin untuk partai-partai sayap kiri tertentu di UE, peninggalan Perang Dingin) tapi kini memuat nilai penting karena FN dan AfD mungkin akhirnya mencoba memerintah berkat gejolak politik yang disebabkan oleh krisis pengungsi. Sahabat-sahabat Rusia, yang kemarin-kemarin dianggap pinggiran secara politik, kini sangat berarti di beberapa negara UE, termasuk negara-negara kunci seperti Prancis dan Jerman.

Kremlin juga aktif dengan permainan propagandanya seperti biasa. Corong-corong negara semisal RT dan Sputnik menayangkan berita tentang para migran kasar ke Uni Eropa, semakin seram semakin bagus. Moskow berkepentingan menyalakan ketakutan Eropa, karena warga yang takut akan memilih partai-partai pro-Rusia. Tak puas dengan tingkat kriminal aktual di antara para migran, permasalahan nyata yang tak bisa dibantah oleh siapapun saat ini, corong-corong media Rusia mulai mengarang lebih banyak.

Ini merupakan trik lama Kremlin, dikenal sebagai disinformasi di dunia mata-mata, dan agar sukses itu harus minimal sebagiannya berdasarkan fakta. Kasus teranyar yang mengilustrasikan hal ini adalah kisah mesum tentang seorang gadis 13 tahun di Berlin yang diduga diculik dan diperkosa keroyokan oleh migran Arab. Dongeng seram ini menjadi kehebohan media Januari lalu, memungkinkan corong-corong Moskow untuk menggambarkan Jerman dipadati geng-geng Muslim pemerkosa—tapi itu dongeng. Kejahatan tersebut tak pernah terjadi, tapi ini tidak mencegah menteri luar negeri Rusia untuk secara terbuka menuding Berlin melakukan “penutup-nutupan”, sementara TV Rusia menayangkan video palsu guna membumbui cerita tipuan itu.

Ini semua sudah basi bagi tangan-tangan kontra-intelijen Barat yang hafal dengan agitprop Kremlin. Publik mau mempercayai sebuah kebohongan karena kejahatan migran—termasuk serangan seksual—hampir bukan isapan jempol, seraya menggaungkan cerita seram tiada henti di internet dan TV, menciptakan iklim histeria, agar pihak berwenang mengambil waktu beberapa hari untuk menetapkan tak ada perbuatan kriminal. Pada saat itu, kerusakan politis telah ditimbulkan, sesuai tujuan Moskow.

Tangan intelijen Rusia di balik beberapa politisi kanan-jauh dan berita sensasionalis Eropa dapat dideteksi oleh orang-orang bermata terlatih, tapi ada juga pertanyaan mengganjal: apakah Kremlin menyalakan krisis migran itu sendiri. Tak bisa disangkal bahwa Suriah, negara klien Rusia, sangat bahagia mengekspor persoalan besar pengungsi ke Eropa, sementara intervensi militer Tn. Putin dalam perang sipil berdarah tahun lalu justru meningkatkan arus pengungsi putus asa yang mencari tempat perlindungan di Barat.

Tapi apakah intelijen Rusia memainkan perang langsung dalam mendorong migran ke UE? Beberapa dinas keamanan Barat telah mengisyaratkan realita ini, tapi baru belakangan pemerintahan Eropa mau menyatakan terus-terang keprihatinan mereka. Pertengahan Februari, menteri pertahanan Finlandia blak-blakan menyebut arus migran ke negaranya lewat Rusia adalah “tantangan kita yang paling serius”. Nah, dengan pengungsi mengambil rute Arktik menuju UE dari Rusia dalam jumlah tiada tara, Helsinki secara terbuka menuding Kremlin dan dinas-dinas intelijennya membanjiri Finlandia, dan karenanya UE, dengan pengungsi sebagai senjata politik untuk mendestabilisasi Eropa.

Gagasan ini, yang mungkin terdengar mengada-ada bagi orang baru, diambil serius oleh para anggota utama UE dan NATO, khususnya mereka yang cukup sial berada dekat Rusia. “Ini semua ulah FSB,” jelas pejabat keamanan senior dari salah satu negara perbatasan NATO, mengacu pada Federal Security Service berpengaruh milik Rusia. “Para migran pergi ke tempat FSB mengirim mereka, banyak dari penyelundup manusia itu merupakan agen FSB,” seraya menambahkan bahwa bagi Kremlin ini adalah “[solusi] menang-menang karena ini mengeluarkan migran dari pangkuan mereka dan menjatuhkannya di pangkuan kita”.

Dinas-dinas keamanan Barat juga khawatir FSB dan badan intelijen Rusia lainnya sedang mengeksploitasi krisis pengungsi untuk tujuan spionase. Kecemasan utama adalah Kremlin menebar mata-mata di antara para migran yang akan diaktifkan begitu mereka sampai di Eropa. Penggunaan mata-mata samaran, yang Rusia istilahkan sebagai Ilegal, merupakan spesialisasi KGB yang berlanjut hingga hari ini, sebagaimana terungkap oleh peringkusan seorang Ilegal dari Foreign Intelligence Service Rusia, atau SVR, yang sedang beroperasi di New York City, memata-matai Wall Street, pada awal tahun lalu.

Ilegal, kader mata-mata elit, menjadi masalah khusus bagi kontra-intelijen Barat karena, tak seperti mayoritas mata-mata Rusia di luar negeri, mereka tak punya pekerjaan “kedok” resmi di, katakanlah, kedutaan Rusia atau misi dagang Rusia. Ilegal yang menjauhi masalah dan mengusahakan cerita kedoknya—identitas palsu yang mereka juluki “legenda”—hampir mustahil untuk dibongkar oleh badan keamanan Barat yang cakap sekalipun.

Oleh karenanya, berita dari Polandia pekan ini menimbulkan pertanyaan susah bagi NATO. Sebagaimana dilaporkan oleh majalah berita Wprost, intelijen Polandia menyimpulkan Kremlin telah menebar Ilegal di antara barisan migran yang, begitu sampai di UE dan tenang dalam hidup baru mereka, akan bertindak sebagai mata rahasia Rusia di Eropa. Warsawa mempunyai “informasi kredibel multi-sumber” mengenai hal ini, termasuk informasi intelijen dari mitra mata-mata AS dan Inggris, yang mengindikasikan bahwa dinas-dinas intelijen Rusia telah mengirim para Ilegal ke Suriah, dan terus ke Eropa, berpura-pura sebagai pengungsi Timur Tengah. Mereka dipersiapkan untuk beberapa negara UE, mencakup Jerman, Prancis, dan Inggris. Mengantongi dokumen palsu bermutu tinggi yang disediakan Kremlin, serta pelatihan spionase tepat, para Ilegal ini akan hampir mustahil untuk dideteksi, bahkan dengan pemeriksaan keamanan cermat.

Kontra-intelijen Barat sudah cemas oleh kemampuan Islamic State untuk menginfiltrasi Eropa dengan para mujahidin yang berpura-pura sebagai pengungsi, tapi Rusia memiliki keterampilan spionase jauh lebih unggul dibanding apapun yang dapat ISIS kerahkan. “Kami takkan pernah bisa memilah para Ilegal SVR dari massa pengungsi,” jelas seorang pejabat intelijen Pentagon. “Mereka akan mengalahkan pemeriksaan imigrasi kami, padahal kami lebih kuat dari mayoritas Eropa.”

Warsawa sama-sama memerah. “Kami akrab dengan permainan Kremlin ini,” kata pejabat senior intelijen Polandia. Dia mencatat bahwa orang-orang Polandia yang dipulangkan usai puluhan tahun berada di Uni Soviet, ke mana Stalin mendeportasi mereka, meliputi banyak Ilegal KGB. Aparat keamanan Polandia melewati masa sulit untuk mendeteksi mata-mata itu, “dan mereka adalah bangsa kami sendiri. Kami tak punya gambaran siapa orang-orang Arab ini.”

Polandia memiliki dinas keamanan bagus—termasuk yang terbaik di NATO—tapi tak heran Warsawa begitu enggan menerima pengungsi, meski UE berulangkali mendesaknya. Para pejabat keamanan Polandia sadar, mereka tak punya gambaran bagaimana memastikan siapa para pendatang baru itu sebenarnya. Sementara itu, Kremlin akan terus memainkan permainan mata-mata sinisnya untuk memanipulasi krisis pengungsi Eropa demi keuntungan politiknya.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.