Amerika Sedang Dihancurkan Oleh Kebusukan Spiritual dan Moral, Bukan Terorisme

Oleh: Matt Walsh
17 November 2015
Sumber: The Blaze

Pasca serangan teroris di Paris, saya mendengar banyak orang khawatir bahwa terorisme Islam radikal adalah ancaman terbesar bagi stabilitas dan masa depan peradaban kita. Ketakutan ini tentunya beralasan, apalagi setelah menonton segerombol agresor Muslim bersenjata mengubah sebuah kota besar Barat menjadi zona perang selama beberapa jam pada Jumat malam.

Anda mungkin merasa lebih cemas lagi soal kemungkinan masyarakat kita jatuh ke tangan militan Muslim barbar bila mempertimbangkan bagaimana para “pemimpin” kita merespon insiden itu. Ada relativisasi moral tak pantas, terlukis paling psikotik oleh seorang Demokrat Minnesota, Dan Kimmel, yang menyebarkan cuitan peringatan kepada setiap orang untuk tidak terlalu memandang rendah dan menghakimi Islamic State. Kimmel berteori, “ISIS belum tentu jahat”, mereka cuma “melakukan apa yang dianggap terbaik untuk komunitas mereka”. Sebagian orang “melakukan apa yang terbaik untuk komunitas mereka” dengan membantai ratusan warga sipil tak berdosa di sebuah kota yang jaraknya ribuan mil dari komunitas mereka. Satu strategi tak bisa dihakimi lebih sah atau lebih bermanfaat daripada strategi lain, menurut Tn. Kimmel yang brilian.

Gambar tak bertanggal ini diposting pada sebuah situs militan 14 Januari 2014, memperlihatkan para pejuang Islamic State afiliasi al-Qaeda sedang berbaris di Raqqa, Suriah. (AP Photo/situs militan, File)

Tidak kalah bodoh, ada pula trik “pemanasan global lebih parah”, yang dikemukakan secara paksa oleh pesaing presidensial tercinta dari Demokrat, Bernie Sanders, Sabtu lalu. Bernie bersikukuh bahwa, kendati para teroris meledakkan pesawat dan meletuskan bom di jalanan ramai dan mengepung metropolis-metropolis Barat untuk mengeksekusi kaum wanita dan anak-anak, ancaman terbesar bagi keamanan kita tetaplah perubahan iklim. Jika ingin menangani terorisme, klaim Bernie, kita harus berbuat sesuatu terhadap fakta bahwa Timur Tengah mulai agak panas. Saya menduga pasir dan panas membuat orang-orang rasional sekalipun jadi lekas marah.

Dia juga menyebutkan pengangguran sebagai faktor. Suhu hangat dan pengangguran, menurut penilaian Bernie, menjelaskan momok kebrutalan Islam selama 1.400 tahun. Tentu saja, banyak terbitan liberal arus utama membela Bernie, betul-betul menyokong gagasan bahwa kita harusnya lebih takut pada cuaca ketimbang pada tentara jihadis yang ingin menggulingkan peradaban Barat dan mendatangkan kehancuran.

Yang lebih bodoh lagi, ada trik “salahkan Bush/Amerika/Islamofobia/hantu”. Banyak orang kiri menghabiskan hari-hari pasca serangan dengan merengek bahwa ancaman sesungguhnya bagi dunia adalah orang-orang picik yang, pada titik ini, sedikit waspada terhadap Muslim. Karena jelas tidak wajar merasa gelisah dengan sekelompok manusia yang telah melancarkan Jihad kekerasan terhadap setiap orang sejak tahun 600. Islamofobia, sebut kaum liberal. Yang lain mungkin sekadar menyebutnya observasi.

Di media sosial, dari apa yang saya perhatikan, kaum kiri melontarkan berbagai macam dalih hanya untuk melihat mana yang akan melekat. Apapun yang terjadi, mereka tak bisa mengakui bahwa teroris Muslim memilih melakukan kejahatan dengan kehendak bebasnya sendiri, apalagi mengakui bahwa barangkali agama si teroris mendorong pilihan demikian.

Yang paling bodoh, ada omongan “mari hentikan terorisme dengan membuktikan betapa baiknya kita dengan membuka pintu bagi banjir migran Muslim Dunia Ketiga”. Setelah mengulangi penenteramannya bahwa Islamic State sudah “terbendung”, Senin lalu Obama menyatakan masih berencana mengundang arus pria Muslim yang berpotensi teradikalkan lewat perbatasan kita tanpa pemeriksaan, padahal Islamic State sudah mengumumkan niatnya untuk menyelundupkan teroris ke negara-negara Barat dengan berkedok sebagai pengungsi pencari suaka.

Belum cukup bagi Obama mengisi tahun-tahun dengan menimbulkan instabilitas dan pemberontakan di seantero Timur Tengah; belum cukup baginya secara aktif mempersenjatai dan memperlengkapi militan Muslim di Suriah; belum cukup baginya berjalan sempoyongan seperti pemabuk dari satu blunder kebijakan luar negeri ke blunder lainnya—sekarang dia ingin membuka gerbang-gerbang dan mengundang orang Timur Tengah ke lingkungan kita. Yang lebih parah, tampaknya khusus Muslim Timur Tengah yang dia inginkan. Sejauh ini, sudah ada sekitar 2.000 Muslim dibawa masuk ke AS banding 50 Nasrani. Tapi tak usah dipikirkan, menurut banyak orang liberal. Jika kita menekankan keamanan nasional saat mempertimbangkan apa yang harus dilakukan pada pengungsi, kita justru akan menciptakan lebih banyak terorisme. Jika kita tidak melakukan apa yang dunia Muslim inginkan, mereka akan membunuh kita, dan itu salah kita. Tapi jika kita melakukan apa yang mereka inginkan dan mereka membunuh kita juga, itu tetap salah kita.

Wajar jika seseorang mencermati kepengecutan licin dan gamang di pihak budaya progresif ini dan merasa kesal kita tak punya tulang punggung kolektif dan keteguhan untuk menghadapi agresi Muslim. Tentu tentara kita bisa, tapi apa mereka berjuang demi rakyat dan pemerintah yang sama-sama memiliki keberanian dan keuletan mereka? Nyaris tidak. Banyak dari pemimpin kita—orang-orang Demokrat, bagaimanapun—bahkan tidak punya nyali untuk mengidentifikasi terorisme Islam sebagai terorisme Islam. Bagaimana kita bisa percayai mereka untuk mengalahkan kejahatan yang bahkan tidak mereka akui?

Jika polisi kulit putih membunuh penjahat kulit hitam, Obama takkan sungkan mempertalikan pembunuhan itu (biasanya berlandasan sah) dengan seluruh ras kulit putih. Tapi ketika segerombol orang biadab yang teradikalkan menembak, menusuk, meledakkan, membakar, menenggelamkan, memenggal, memperkosa, menghukum mati tanpa pengadilan, merajam, dan atau membunuh ratusan orang tak berdosa setiap hari atas nama agama tertentu, Obama takkan menyebutkan agamanya, kecuali untuk menyerang orang-orang yang mengkritik agama tersebut. Ingat, dialah orang yang betul-betul berdiri di depan [sidang] PBB dua tahun lalu dan berkata, “Masa depan tidak boleh menjadi milik orang-orang yang memfitnah nabi Islam.” Menyebut ini “kepatutan politis” belaka tidaklah cukup. Ini sedikit lebih berbahaya, lebih menakutkan, dan lebih khianat daripada itu.

Seorang pengikut Twitter mengingatkan saya pada kutipan dari pujangga Prancis Paul Valery:

Gagasan kalian mengerikan dan hati kalian redup. Tindakan iba dan bengis kalian rancu, dilakukan tanpa tenang, seolah itu tak tertahankan. Akhirnya, kalian semakin takut darah. Darah dan waktu.

Gagasan menakutkan dan hati redup. Itulah progresivisme, ringkasnya.

Jadi haruskah kita memandang Islam radikal sebagai ancaman terbesar bagi negara kita, khususnya saat kita bandingkan kebengisan ganas tapi fokusnya dengan ketololan, keapatisan, dan kemalasan budaya kita? Tidak. Saya khawatir situasinya lebih buruk dari itu. Bahkan, saya ingin bilang kondisi kita sangat bagus jika kematian dan kehancuran potensial peradaban kita hanya mengintai di luar, merencanakan cara-cara untuk menginfiltrasi tataran kita (yang tidak sulit, mengingat perbatasan terbuka lebar) dan membunuh kita semua. Ancaman eksternal sudah senantiasa ada dan akan senantiasa ada. Dan ketika ancaman eksternalnya adalah sekumpulan orang buas primitif penghuni gurun yang memiliki senapan mesin dan tank hanya karena Obama memberikan senjata-senjata itu kepada mereka, kita harus yakin bisa menang.

Tapi ada masalah. Ancaman besar bagi peradaban kita, dan hal yang paling membuatnya rentan terhadap ancaman lain semisal Islamic State, datang dari dalam: liberalisme. Atau paham kiri. Atau setanisme sekuler, sebagaimana saya mulai menyebutnya demikian. Label apapun yang Anda pakai, agama pemujaan diri dan relativisme tak bertuhan ini, budaya kematian ini, ideologi palsu dan edan ini, tetap menjadi ancaman pertama dan paling urgen yang kita hadapi sebagai masyarakat dan peradaban.

Ia juga membunuh jauh lebih banyak orang. Setanisme sekuler mungkin tidak mendorong orang-orang untuk membunuh orang tak berdosa dengan senapan dan pisau (walau kadang berefek demikian), tapi ia menggerakkan kita, sama saja, untuk membenarkan, menyebarkan, melegalkan, mendanai, menggalakkan, merayakan, dan melakukan pembantaian masal satu juta anak setiap tahun. Bayi-bayi ini tidak dieksekusi dengan gaya spektakuler yang menarik perhatian seperti para korban di Paris, tapi mereka tetap dieksekusi. Persis di jalan raya depan rumah Anda, bahkan di bangunan kecil biasa yang menempel pada pusat perbelanjaan, biasanya diposisikan secara strategis dekat SMU atau kampus komunitas. Pembunuhan ini sama-sama buruk, sama-sama tak berlandasan, sama-sama mengerikan, dan orang yang melakukannya—yang ironisnya kita panggil “dokter”—tidak dapat dibedakan secara moral dari mata-mata Islamic State. Tukang aborsi ini lebih buruk. Setidaknya teroris Muslim merasa melaksanakan kemauan seram seorang dewa palsu. Tukang aborsi membunuh manusia hanya karena itu memberi mereka cek gaji dan kegiatan. Bagaimanapun, satu hal yang pasti: Islamic State belum mendekati jumlah mayat industri aborsi dalam setahun, dan saya ragu itu akan terjadi.

Setanisme sekuler tidak mengumumkan rencananya secara teatrikal untuk menghancurkan Barat seperti para Jihadis. Justru, ia menyetir peradaban kita untuk bunuh diri. Institusi keluarga berantakan, pernikahan ditumbangkan, gender didefinisikan ulang, sistem pendidikan mengubah cepat generasi berikutnya menjadi serpihan salju leleh kecil yang terobsesi dengan diri sendiri, kehilangan nalar manusiawi dan tak mampu berpikir kritis. Ini bukan ulah Islam radikal, walaupun saya yakin ia akan senang menerima pujian atas kemenangan merusak ini.

Gambar ini diambil dari sebuah video yang dirilis 15 Februari 2015 oleh militan di Libya yang mengklaim setia pada kelompok Islamic State, konon memperlihatkan Kristen Koptik Mesir berseragam jumpsuit jingga sedang digiring di pantai, masing-masing ditemani militan bercadar. Kemudian, orang-orang ini disuruh berlutut dan salah satu militan berpidato di depan kamera dalam bahasa Inggris sebelum mereka dipenggal serentak. (Sumber gambar: AP)

Di sini umat Kristen tidak diledakkan berkeping-keping atau dibakar hidup-hidup atas pengamalan agama mereka, tapi banyak pemeluk sudah teryakinkan untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Meski pemerintah mulai berusaha mengkriminalisasi agama Kristen, ia menjumpai perlawanan lemah karena mayoritas umat Kristen kita, well, bukanlah Kristen. Mereka tidak lari ketakutan dari gereja di bawah ancaman penyiksaan dan pengoyakan—tidak, kita terlalu beradab untuk itu; di sini kita justru memperlakukan bayi-bayi dengan cara itu—tapi mereka terbujuk dengan janji-janji kenikmatan lebih besar, kenyamanan lebih banyak, dan kehidupan seks lebih menantang dan membebaskan.

Para teroris tidak bisa memisahkan orang Kristen dan agama Kristennya di Timur Tengah tak peduli seberapa keras mereka mencoba. Yang bisa mereka lakukan hanyalah membunuhnya, dan orang Kristen akan membuatnya gemas sampai akhir dengan membacakan “Bapa Kami” dan menatap para pengeksekusinya dengan keteguhan baja dan yakin selagi mereka mengisi senapan dan membidik.

Tapi di sini, bermacam-macam kekuatan ideologi telah menemukan metode lebih bersih dan lebih efektif. Mereka bilang kepada orang Kristen, “Hei, buang salibmu, kemarilah, kau bisa menonton porno, berhubungan seks di luar nikah, dan hidup semaumu tanpa merasa tak enak”—dan jutaan orang beriman yang malang pergi buru-buru tanpa ragu sekejap pun.

Pada akhirnya, kejahatan militan Islam dan setanis sekuler sama saja—dua-duanya sama-sama jahat. Semua kejahatan terbuat dari kombinasi egoisme, kedengkian, dan ketamakan, dan sejak kematian dan kebangkitan Kristus, hampir semua kekuatan ideologi jahat telah termotivasi oleh kebencian pada agama Kristen. Islam benci Barat karena Barat adalah (atau dulunya) Kristen, dan liberalisme benci Barat untuk alasan yang sama. Ini menjelaskan kekaguman ganjil liberalisme pada Islam fundamentalis. Mereka tampak sepakat pada poin paling dasar ini.

Saya tak bermaksud mengerdilkan ancaman Islam radikal tapi cuma mengingatkan Anda bahwa, jikapun Anda pantas khawatir terhadap orang-orang barbar di gerbang, jangan sampai itu mengalihkan perhatian Anda dari kanker spiritual yang sudah ada dalam aliran arah kita. Yang satu mungkin menimbulkan kerusakan signifikan pada tubuh kita, tapi yang satu lagi akan memakan jiwa kita. Jiwa Amerika sudah diserang selama puluhan tahun, dan dewasa ini sulit untuk mengatakan apakah ia masih punya jiwa sama sekali. Kekaisaran tanpa jiwa rentan terhadap invasi dari luar—Romawi mengajari kita hal itu 1.500 tahun lampau—tapi para agresor hanya mengagresi cangkang. Apa yang ada di dalam sudah hancur dan dibiarkan busuk dan mati.

Liberalisme sudah melakukan sesuatu pada Amerika apa yang tak sanggup dilakukan tentara teroris Muslim manapun. Pada suatu titik kita harus menyadari itu, dan dengan begitu kita bisa mulai ikut berperang spiritual, di mana perang ini harus (dan akan) dimenangkan.

One thought on “Amerika Sedang Dihancurkan Oleh Kebusukan Spiritual dan Moral, Bukan Terorisme

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.