Eksodus Terbesar di Zaman Kita

Oleh: Michael Petron
Sumber: National Post

Jurnalis Michael Petron merupakan R. James Travers Foreign Corresponding Fellow tahun ini. Proyeknya merekam rentetan kisah orang-orang Suriah yang terusir, khususnya mereka yang tetap tinggal di Timur Tengah, hingga mentransformasi kawasan tersebut secara dramatis. Petron bepergian ke Turki, Yordania, dan Lebanon untuk mendokumentasikan eksodus masal ini dari tangan pertama. Brice Hall adalah ilustrator dan perancang digital untuk proyek ini.

Pengosongan Suriah adalah migrasi paksa umat manusia terbesar sejak Perang Dunia II. Jutaan orang yang hancur secara individu akan membentuk ulang Timur Tengah—dan dunia luar—selama bergenerasi-generasi ke depan.

Eksodus Terbesar di Zaman Kita

“Setiap orang punya kisahnya sendiri tentang bagaimana mereka melarikan diri,” kata Ahmad Odaimi, seorang dokter Suriah dari Homs, kini dalam pengasingan di Turki.

Kisahnya berawal dari hari-hari pertama perang sipil saat dia mengisi shift seorang teman di sebuah rumahsakit pemerintah, rekan dokter yang rutin merangkaki pipa pembuangan penuh tinja sepanjang 100 meter untuk mencapai wilayah pemberontak dan mengobati pejuang terluka di sana.

Seorang teman lain yang punya koneksi di dalam dinas keamanan Suriah memperingatkan Odaimi bahwa muslihatnya sudah ketahuan dan dia sedang dicari oleh pasukan loyalis Presiden Bashar al-Assad. Dia segera melarikan diri ke lingkungan al-Waer yang dikuasai oposisi di Homs tengah, dan akhirnya berhasil sampai ke Gaziantep di Turki tenggara.

Ayah dan dua saudaranya masih ada di Suriah. Ketika rezim memperbarui serangan terhadap lingkungan tempat mereka tinggal, rasa stres membuat Odaimi marah-marah pada dua puteri kecilnya. Dia kembali merokok untuk menenangkan kegelisahannya.

Dr. Ahmad Odaimi

Jomah Alqasem melarikan diri setelah ayahnya tewas di penjara pemerintah Suriah.

Dia bukan aktivis. “Dia hanya kakek tua,” kata Alqasem di sebuah restoran di Gaziantep, di mana dia tinggal sekarang.

Ayah Alqasem ditahan setelah menjenguk kakak Alqasem di penjara. Keluarga ini membayar sogok untuk menjaga ayah Alqasem tetap hidup tapi mereka dengar dia disiksa, menderita diare parah, dan meninggal di sel yang terlalu penuh. Sipir menyeret mayatnya ke koridor dan meninggalkannya di sana untuk menakuti tahanan lain.

Sebelum ditahan, kakak Alqasem bahkan tidak ambil bagian dalam unjuk rasa menentang kekuasaan Assad. Dia bergabung dengan kelompok pemberontak setelah dibebaskan. Balas dendam mungkin penjelasan yang terlalu sederhana. Dia rusak di bagian dalam, kata Alqasem. Dia terlihat menderita skizofrenia dan tak berkata apa-apa selama enam bulan, cuma bengong ke tanah dan merokok. Dia masih hidup, dan barangkali hanya dalam hal itu dia beruntung.

“Di Suriah, nyawa cuma berharga setengah dolar,” kata Alqasem. “Harga sebuah peluru bisa mengakhiri nyawa seseorang yang memiliki isteri dan anak-anak, kedudukan di masyarakat, seseorang yang dibesarkan oleh orangtuanya. Setengah dolar menghapusnya.”


Mohammad selamat karena orangtuanya khawatir akan nasibnya jika mereka bertahan di Suriah. Mereka tinggal di pedesaan provinsi Aleppo di bawah kendali Islamic State of Iraq and the Levant, sebuah kelompok Islamis keras yang menyerbu Suriah timur dan Irak barat dan pada 2014 mendeklarasikan berdirinya kekhalifahan, negara yang diatur oleh hukum Islam dan diperintah oleh pemimpin politik dan keagamaan yang dikenal sebagai khalifah. Walau kini sedang mundur, ISIL masih menguasai wilayah di Suriah dan Irak kurang-lebih seukuran Belgia.

“Jika celana Anda [terlalu] panjang, mereka akan memotongnya,” kata Mohammad. “Mereka memaksa kami pergi ke masjid dan mengkhotbahkan jihad pada kami. Kami tak boleh memotong rambut.”

Mohammad, kini 15 tahun, dan aman di sebuah pemukiman tenda lapuk di Lembah Bekaa, Lebanon, mengatakan polisi syariah ISIL mengambil anak-anak yang mereka jumpai di jalan raya. Salah seorang sahabat diambil dan dipaksa menghadiri pelajaran mereka. “Kami dengar dia meledakkan diri,” kata Mohammad. “Usianya 14.”


Hosam, yang tinggal di kawasan miskin ibukota Yordania, Amman, meninggalkan Darraya, sebuah daerah pinggiran Damaskus dan sempat menjadi pusat oposisi melawan Assad, pada Desember 2011, setelah dia ditahan menyusul unjuk rasa terhadap pemerintah Suriah. Dia mengatakan dirinya tidak ikut serta.

Gambar karya anak pengungsi (Lihat galeri)

“Mereka menyiksa saya. Mereka mematahkan hidung dan tulang rusuk saya. Saya tidak bisa lihat dengan apa mereka memukuli saya, karena mata saya ditutup,” tuturnya. “Dan mereka memukul saya sambil mencaci-maki: ‘Kau ingin kebebasan? Makan kebebasan ini!’”

Setelah tiga bulan, Hosam dibebaskan dari penjara tanpa alas kaki. Dia bertahan di Suriah selama hampir dua tahun berikutnya. Pada masa itu, Darraya menjadi lokasi pertempuran sengit antara pemerintah dan pejuang pemberontak Free Syrian Army. Pesawat-pesawat pemerintah mengebom lingkungan mereka, merusak pendengaran isterinya. Mereka lari bersama keluarga besar ke Yordania. Putera mereka 7 tahun, masih suka mengompol karena trauma.

Kisah-kisah pengungsi Suriah ini, di Turki, Yordania, dan Lebanon, tak berbeda dari kisah 40.000 orang Suriah yang datang ke Kanada sejak terpilihnya Justin Trudeau pada Oktober 2015, atau kisah sejutaan pengungsi Suriah di Eropa.

Kecuali ini: di Timur Tengah, masih ada banyak lagi.

Suara Khalil – Ayah delapan anak dan pelarian ISIL

Orang-orang Kanada bangga negara mereka menerima para pengungsi. Kelompok-kelompok sponsor swasta ribut menuntut supaya menampung lebih banyak. Dan pemerintahan Trudeau menggembar-gemborkan penerimaan pengungsi oleh Kanada sebagai contoh internasionalisme Kanada yang ditemukan kembali. Trudeau juga berikrar lebih dari $1,1 miliar bantuan kemanusiaan dan pembangunan akan dibelanjakan selama tiga tahun di Yordania, Lebanon, Suriah, dan Irak, sebagian besar terkait dengan krisis pengungsi Suriah.

Tapi bagi Turki, Lebanon, dan Yordania, 40.000 adalah galat pembulatan. Yordania, negara dengan populasi pribumi hanya 6,5 juta, menampung sedikitnya satu juta orang Suriah. Lebanon, dengan populasi lebih kecil lagi, menampung sekitar 1,5 juta pengungsi, kira-kira seperempat dari populasi negara tersebut. Dan Turki diduga menampung hampir tiga juta orang Suriah di tanahnya.

Dengan adanya penyeberangan perbatasan secara ilegal dan banyak pengungsi tidak mendaftar, tak ada yang yakin angka persisnya. Kilis, sebuah kota kecil Turki di perbatasan Suriah, mempunyai populasi sekitar 94.000; mereka menampung 135.000 pengungsi. Hasan Kara, walikota Kilis, bangga akan hal ini.

Hasan Kara, walikota Kilis

“Sebagai warga Kilis, kami bertanya kepada setiap orang, apa itu warisan budaya dunia? Anda boleh sebut Tujuh Keajaiban atau air terjun di Kanada. Tapi bagi kami, warisan budaya paling penting adalah rohani. Yaitu belaskasih terhadap orang-orang,” ungkapnya.

Kara tidak mengkritik Kanada atas penerimaan pengungsi Suriah yang terbilang sedikit, tapi dia membuat kelakar yang mengesankan Kanada bisa menampung semua pengungsi Suriahnya dalam satu hotel. “Saya sudah mengunjungi Kanada,” katanya. “Di sana kosong.”

Secara umum, perpindahan rakyat Suriah, baik di dalam maupun keluar perbatasan negaranya, melambangkan migrasi paksa umat manusia terbesar sejak Perang Dunia II. Yang dihadapi Kanada dan Eropa baru segelintir dari pengembaraan tersebut. Dan terlindunginya kita dari skala riil eksodus Suriah telah membutakan kita terhadap konsekuensinya.

Ini mencakup rohani, politik, sampai keduniaan. Di seluruh Timur Tengah, kotamadya-kotamadya penampung pengungsi berjuang mengatasi tekanan yang dihadirkan para pengungsi terhadap jawatan semisal pengumpulan sampah atau penanganan kotoran. Yordania, yang kekurangan air sebelum perang Suriah, kini harus menyediakannya untuk satu juta orang Suriah.

Tantangan semacam ini menyita pikiran politisi lokal dan pengungsi, tapi kebanyakan tak bisa diselesaikan atau diredakan dengan uang. Yang lain lebih dalam dan sulit untuk ditangani.

Ada anak-anak pengungsi Suriah yang akan melalui kehidupan pengasingan tanpa cedera. Sebagian, terlepas dari kemiskinan keluarga mereka, mencari pendidikan dengan tekad yang menghinakan dan itu mungkin menghasilkan fondasi pribadi yang di atasnya sebuah masa depan dibangun—di Suriah kelak atau di luar negeri.

Tapi masa kecil anak-anak lain, ratusan ribu anak, tergelincir dengan cara-cara yang darinya mereka mungkin takkan pernah pulih.

Berapa peluang yang dimiliki seorang bocah 12 tahun—yang berumur 6 tahun saat perang Suriah dimulai dan belum pernah bersekolah—dalam mengejar teman-teman sebayanya atau bahkan dalam belajar membaca? Apa maknanya menginjak akil balig di sebuah kamp pengungsi, apa maknanya tidak mempunyai kenangan tentang sebuah masa ketika Anda tinggal di suatu tempat tanpa pagar, dan apa maknanya tidak melihat jalan menuju masa depan di tempat lain?

Bagaimana dengan gadis belia yang malam-malamnya dihabiskan dengan tidur di tempat perlindungan berdinding terpal di pemukiman sementara di antara para pengungsi lain, dan siang-siangnya dihabiskan dengan mencabut kentang dari lumpur demi menafkahi keluarga alih-alih pergi sekolah? Masa depan apa yang dimilikinya selain pernikahan dini dan anak-anak yang kemungkinan besar akan menderita seperti itu juga?

Kisah-kisah demikian terasa tragis, tapi kita baru di permulaan. Anak-anak lelaki dan perempuan ini, keseluruhan generasi Suriah, suatu hari kelak menjadi pria dan wanita yang akan membentuk Suriah dan Timur Tengah. Mereka akan punya dampak jauh lebih signifikan saat itu dibanding sekarang.

Sejauh ini, struktur sosial Turki, Lebanon, dan Yordania kebanyakan mampu bertahan. Meski terdapat ketegangan dan kebencian di dalam penduduk lokal, ada rasa setiakawan dengan orang-orang Suriah yang datang untuk hidup di antara mereka. Tapi itikad baik ini tentunya tidak kekal—terutama karena jelas bahwa banyak, mungkin kebanyakan, “tamu” Suriah tidak akan pergi dalam waktu dekat.

Saat itu komplikasi nyata dari pengosongan dahsyat Suriah akan mulai mengambil bentuk. Walau perang sudah berjalan enam tahun, kita tidak tahu seperti apa nantinya. Secara kolektif, pengungsi Suriah sedang membentuk ulang kawasan sedemikian rupa sehingga akan menggema ke seantero dunia. Tapi di jantungnya, eksodus ini terdiri dari jutaan orang yang hancur secara individu.


Di usia 13, Faisal Hamdan tidak tahu ini akan jadi tahun terakhirnya dia bersekolah.

“Pada satu titik, kami harus memberitahunya,” tutur ayahnya, Mohammad Hamdan. “Ini bukan soal saya ingin anak-anak putus sekolah. Ini keharusan. Roti lebih penting daripada pendidikan saat ini.”

Mohammad Hamdan bersama puteri-puterinya, Rukayah dan Halima

Faisal mempunyai dua saudari, Rukayah (12 tahun) dan Halima (10 tahun). Bersama ibu mereka, Aayat al-Shibli, keluarga beranggotakan lima orang ini, asal dari Homs, berbagi gubuk blok sinder di belakang kandang ayam di halaman belakang rumah sebuah keluarga Turki di Reyhanli, dekat perbatasan dengan Suriah.

Mereka tinggal di sebuah ruangan yang disekat dengan tripleks dan tirai. Ada ruangan kedua yang terlalu lembab, kecuali untuk penyimpanan. Tempat itu dihiasi rantai-rantai dan boneka-boneka kertas berwarna cerah yang dibuat di sekolah oleh kedua gadis yang mengaku senang bermain dengan sahabat-sahabat mereka dan, dalam kasus Halima, belajar matematika dan bahasa Arab. Keluarga ini membayar setara $180 dolar per bulan untuk tempat bernaung tersebut. Sebelum perang, harganya mungkin separuh dari itu, tapi volume pengungsi di wilayah ini mendorong biaya sewa naik.

Tenaga kerja anak menjadi endemis di antara pengungsi Suriah. Kemiskinan adalah faktor utama. Orangtua tanpa izin kerja juga takut dideportasi dan berpikir anak-anak mereka kecil kemungkinannya untuk ditanyai pihak berwenang.

Kadang pekerjaannya informal dan paruh waktu. Dekat rumah Faisal di Reynhali, di ruangan yang sama-sama sempit, hidup Sulhiya dan keenam anaknya, usia 2 sampai 14. Suaminya mengalami cedera leher dan tak bisa bekerja. Sulhiya membersihkan rumah-rumah dengan bantuan anak sulungnya. Yang lain mencari-cari barang yang bisa didaur ulang di gang-gang dan tumpukan sampah. Pada hari mujur, mereka bisa menemukan plastik senilai lima dolar.

Di tempat lain, anak-anak bekerja seperti orang dewasa. Kota Mersin di Turki terlentang di pesisir utara Laut Mediterania. Distrik-distrik miskinnya, dengan jalanan berbelit-belit, kawat duri, grafiti, dan kucing-kucing, bengkak oleh pengungsi. Banyak pengungsi bekerja di pabrik jahit bawah tanah, dan sebagian dari pekerja itu adalah anak-anak.

Di sebuah pabrik, yang ditemukan secara kebetulan karena pintunya terbuka sedikit, pemilik mengundang seorang wartawan untuk datang lagi jam 4 sore ketika para pekerjanya istirahat 15 menit. Pada waktu yang ditentukan, mesin-mesin berhenti, 20-an pekerja berkumpul dan teh dikeluarkan di antara tumpukan kaos sweater dan piyama berlogo olahraga dan berslogan bahasa Inggris yang kurang tepat. Pemilik menyebut pabriknya bekerja membuat tiruan merek-merek mapan.

Dua bersaudari yang bekerja di pabrik di Mersin

Abdul, 15 tahun, memamerkan tanda pertama kumisnya. Asal dari Aleppo, dia mengaku mendapat upah $100 lebih sedikit per bulan. Dia mengaku ingin bersekolah tapi harus menopang keluarganya.

Rekan kerjanya mencakup dua bersaudari 10 tahun, Hasma dan Murphad, juga asal Aleppo, yang bertugas mondar-mandir mengangkut kain dari tumpukan di tengah ruangan ke mesin-mesin jahit sepanjang tembok. Kedua tangan Hasma melayang gugup ke mulutnya saat dia sedang tidak sibuk. Dia juga tidak bersekolah. Hasma mengaku rindu sekolah.

Sang pemilik ditanya berapa upah mereka.

“Saya memberi mereka sekian,” katanya.

Di Lebanon, anak-anak pengungsi menjual tisu dan penggosok sepatu atau mengemis di jalanan kota, sebagaimana di Turki dan Yordania. Tapi di antara pengungsi Suriah di pemukiman tenda informal di Lembah Bekaa, dekat Suriah dan dipisahkan dari Beirut oleh pegunungan, juga terdapat bentuk tenaga kerja kontrak yang hampir feodal.

Masalah ini bermula sebelum perang sipil Suriah meletus. Orang Suriah biasa datang ke Bekaa untuk bekerja musiman di pertanian. Tipikalnya, seseorang yang dikenal sebagai sheweesh tinggal selama musim sepi dan mengatur pekerjaan untuk para anggota keluarganya atau desa.

Suara Fatima – Seorang ibu dari tempat lahirnya perang

Ketika perang sipil Suriah mendorong ribuan warga Suriah masuk ke Lebanon, banyak dari mereka mengandalkan sheweesh untuk mengatur pengangkutan, membayar penyelundup, dan memperoleh tenda atau gubuk di sebuah kamp di tanah pribadi sewaan. Dalam proses ini, pengungsi menumpuk banyak utang kepada sheweesh mereka yang harus dilunasi—dengan bekerja. Para pemilik tanah Lebanon di Bekaa masih butuh pekerja, dan sheweesh menyewakan pengungsi yang berutang uang padanya.


Awash, 37 tahun, tinggal di sebuah pondok blok sinder sempit bersama keluarga besarnya. Keluarga ini membesar ketika ayahnya mengambil isteri kedua, janda dengan lima anak. Suaminya tidak bekerja. “Dia sudah tua,” ungkapnya. Suaminya berumur 45. “Dia juga gemuk,” imbuh saudara tirinya yang masih remaja.

Alhasil Awash dan anak-anak menjadi pencari nafkah keluarga. Ongkos sewa untuk penghuni kamp, dibayarkan kepada sheweesh, adalah sekitar $900 per tahun per keluarga, lebih berat bagi mereka yang tak punya anak-anak yang dapat bekerja. Awash sedang menyusui anak bungsunya tapi terpaksa meninggalkannya selama tujuh jam sehari untuk menanam dan memanen palawija. Sebagian besar anak-anaknya juga bekerja. Hassan, 12 tahun, menyebut si Lebanon pemilik pertanian akan menembakkan pistol ke tanah dekat kakinya atau ke atas kepalanya jika dia tak sengaja menyisakan kentang di tanah.

Bahkan Manal, umur 10, bekerja di ladang. Gambar kelinci, hati, dan bunga-bunga pada kaos sweater risletingnya tidak bisa menyamarkan raut letih di wajahnya yang tampak janggal untuk anak sekecil itu. Dia belum pernah bersekolah. “Saya merasa lelah sekali,” katanya datar.

“Saya memaksanya bekerja karena sheweesh harus dibayar dan kami harus hidup,” kata Awash. Dia berutang lebih dari $1.000 kepada sheweesh, dan dia tidak tahu apakah dirinya bisa membayar utang tersebut.

Mawas Mohammad Araji, walikota kota Bar Elias yang bertetangga, sudah dengar beberapa pengungsi Suriah di wilayah itu dieksploitasi, tapi menyebut kebanyakan pengungsi bungkam soal ini.

“Orang Suriah bukan budak sheweesh mereka. Tapi masalahnya, tak ada yang melapor. Jika ada laporan, kami akan bertindak,” katanya.

Ali al-Mohammad, sheweesh di pemukiman pengungsi lain di Lembah Bekaa, tersinggung oleh usulan bahwa ada sesuatu dari praktek pengaturan ini yang patut dikecam.

“Selama dua tahun ini saya membayarkan roti dan obat untuk keluarga-keluarga di kamp, meskipun mereka berutang uang pada saya,” tukasnya. Dia memperkirakan dirinya berpiutang sekitar $30.000.

Mohammad tinggal di antara orang-orang yang bekerja untuknya, walau dalam bangunan lebih nyaman dengan dinding berhias kain jumbai dan lantai berlapis karpet bersih plus bantal-bantal. Dia sudah berada di Lebanon selama beberapa dasawarsa, mengelola pekerja musiman dan sekarang pengungsi. Kebanyakan pengungsi di kampnya berasal dari provinsi Aleppo dan Raqqa. Dia melukiskan perannya sedemikian rupa sampai terdengar seperti peran orangtua wali.

“Seorang sheweesh bertanggungjawab atas kamp dan pekerja. Jika mereka perlu uang, saya akan menyediakannya. Saya mencarikan mereka pekerjaan dan mengangkut mereka. Kalau mereka terluka, saya bertanggungjawab.”

Ditanya perihal anak-anak di kamp, Mohammad mengaku hanya mempekerjakan orang-orang berusia minimal 13 tahun.


Pernikahan dini, seperti halnya tenaga kerja anak, merenggut pendidikan dari banyak pengungsi Suriah. Walaupun pernikahan gadis remaja sangat lumrah di beberapa masyarakat pedesaan sebelum perang, kemiskinan dan dislokasi sosial memperburuk kecenderungan ini.

Awal musim dingin ini, Mona menikah dengan saudara sepupunya, Abdullah, di pemukiman tenda penuh lumpur di Lembah Bekaa tempat mereka tinggal. Sebuah video pernikahan hasil rekaman ponsel memperlihatkan Mona dalam gaun putih, sekerumun pria dan wanita, dan salju yang turun bagai konfeti. Ada band musik dan berpanci-panci ayam untuk tamu.

Acara ini lebih bahagia dibanding pernikahan-pernikahan suram yang diselenggarakan di wilayah kekuasaan ISIS Deir az-Zor, dari mana mereka melarikan diri, ungkap Mona. Tapi dia berandai-andai ini tidak terwujud secepat itu. Mona berusia 14 atau 15 saat menikah; Abdullah 18.

“Jika urusan ini terserah pada saya, saya akan pilih menunggu. Tapi orangtua saya memutuskan dan saya setuju karena itu keputusan tepat. Untuk memberi perlindungan. Ada banyak orang yang tak bermoral,” katanya.

“Andai saya bisa tetap sekolah, saya ingin menjadi dokter gigi. Saya sungguh bercita-cita, tapi kini setelah saya menikah, itu jadi mustahil.”

Penjelasan Abdullah, tentang alasannya menikah, lebih sederhana. “Saya mencintainya,” katanya.

Seorang pengantin belia lain di pemukiman mengulangi penjelasan Mona soal perlunya perlindungan. Mereka berbicara tentang kekhawatiran keluarga mereka akan tindak perkosaan atau seks pranikah di lingkungan yang penuh sesak, kurang privasi, dan di mana struktur keluarga normal dijungkirbalikkan oleh ketiadaan atau kematian ayah dan saudara lelaki.

Kadang tekanan untuk menikah bersifat finansial. Di lingkungan miskin di Amman timur, seorang wanita Suriah mengepalai rumahtangga beranggotakan dua puteri dan tiga cucu hampir seorang diri, karena suaminya, penderita diabetes, tinggal bersama putera mereka di kamp pengungsi di mana dia bisa mendapat perawatan medis.

“Teh yang sedang Anda minum adalah makanan terakhir yang kami punya,” katanya. Dia terlilit utang dan keluarganya sering kedinginan dan kelaparan.

Foto 3600 – Kamp pengungsi Zata’ari, Yordania (Lihat sumber)

Seorang tetangga pengangguran Yordania menawarkan sekitar $15 untuk menikahi puterinya. Dia menolak. Kisah-kisah bertebaran tentang pria Yordania yang mencari-cari wanita pengungsi Suriah—sebagian karena wanita Suriah mempunyai reputasi kecantikan, dan sebagian karena mereka yakin tidak butuh banyak uang untuk menikahinya.

“Saya memang lebih suka wanita Suriah. Dan mereka menerima berapapun. Wanita Yordania meminta tiga ribu sampai empat ribu dolar,” kata Mohammad Ameri saat pelajaran keterampilan hidup di provinsi utara Irbid, Yordania, yang didanai oleh pemerintahan Kanada melalui LSM Save the Children Canada.

“Bahkan sebelum krisis Suriah, tidak ada lapangan kerja. Dan sekarang mereka menikah dengan pria-pria kami? Ini hebat,” kata Manal Hennawi, seraya menambahkan bahwa dia juga menganggap wanita Suriah sangat menarik. Dia sendiri wanita berdarah setengah Suriah.

Safa Zreiqi, seorang siswi lain, tidak ambil pusing para pemuda di provinsinya mencari isteri di antara pengungsi Suriah. “Sebagian dari kami tidak ingin menikah,” katanya. “Kami tidak bersekolah tanpa tujuan. Yang memalukan adalah, kami belajar dan mendapat gelar tapi tak mendapat kerja.”


Peta Turki

Turki telah menjadi salah satu penentang terkuat kekuasaan Assad, dan perang Suriah berdampak besar pada politik, keamanan, dan hubungan luar negerinya. Mereka membekingi kelompok-kelompok pemberontak yang berjuang melawan Assad, dan Agustus lalu mengerahkan pasukan ke Suriah utara guna menghadapi ISIL dan milisi didominasi Kurdi yang menjadi musuh ISIL paling efektif di utara. Kendati Turki telah mendeklarasikan akhir yang sukses untuk kampanyenya, dijuluki “Perisai Eufrat”, mereka mempertahankan kehadiran militer di wilayah tersebut.

Tapi, di antara ketiga negara di Timur Tengah yang menampung mayoritas pengungsi Suriah, Turki paling sedikit terpukul oleh arus masuk ini.

Mereka lebih luas, lebih kaya, dan lebih padat penduduk dibanding Yordania atau Lebanon, jadi bebannya tergolong lebih kecil. Dan dukungan Ankara untuk kelompok-kelompok oposisi di Suriah mengandung arti bahwa otoritas Turki secara umum bersimpati pada rakyat Suriah yang lari dari Assad.

Suara Jalanan Suriah – Potret lingkungan yang terpecah

Omar Kadkoy, research associate di lembaga think tank Ankara, TEPAV, menyebut Turki sedang bergerak ke arah “kebijakan integrasi jangka menengah hingga panjang” terkait pengungsi Suriah. Mereka telah mengakui bahwa banyak orang Suriah kemungkinan besar akan menetap di Turki dan tidak bisa terus dipisahkan dari penduduk untuk jangka waktu tak terbatas.

Maka dari itu Turki sedang meningkatkan akses ke pasar tenaga kerja sah untuk para pengungsi Suriah—sebuah langkah yang kontroversial, kata Kadkoy, lantaran tingginya tingkat pengangguran di wilayah-wilayah di mana pengungsi Suriah bermukim. Sudah ada, ungkapnya, sekitar 5.000 bisnis di Turki yang kini dimiliki atau dulu didirikan oleh orang Suriah. Dan 10.000 orang Suriah belajar di universitas-universitas Turki.

Bahasa menjadi hambatan. Mayoritas orang Suriah berbicara bahasa Arab, bukan bahasa Turki. Dan bisa sulit bagi pelajar tua Suriah yang sudah meninggalkan sekolah selama beberapa tahun untuk berintegrasi ke dalam sistem pendidikan umum Turki.

Beberapa sekolah amal swasta mengisi celah ini. Di Reyhanli, Al Salam School, didirikan oleh yayasan Kanada The Syrian Kids Foundation, mengajarkan kurikulum Suriah yang dimodifikasi—dalam bahasa Arab, walau bahasa Turki dan bahasa Inggris juga diajarkan. Mereka mendidik, secara cuma-cuma, sekitar 1.500 pengungsi Suriah dan telah mengirim dua lulusan untuk belajar di Universitas Concordia di Montreal.

“Selama beberapa waktu, putera-putera saya bekerja memulung plastik,” kata Ramzi Fatrwi, yang anak-anaknya bersekolah di Al Salam. “Saya memasukkan mereka ke sekolah karena pendidikan lebih penting daripada uang.”

Kurang dari 10% pengungsi Suriah di Turki hidup di kamp pengungsi. Tapi kondisi di kamp-kamp tersebut jauh lebih baik daripada di pemukiman tenda informal Lebanon—dan bahkan dibanding banyak kamp pengungsi di tempat lain di dunia. Kamp Nizip 2 yang dijalankan pemerintah Turki dekat Gaziantep mempunyai lantai berlapis batu paving, satu masjid, satu sekolah, perawatan medis, satu supermarket (penghuni kamp diberi voucher uang tunai untuk berbelanja di situ), dan satu pusat komunitas di mana anak-anak mengambil kelas seni dan orang dewasa diajari keterampilan kejuruan semisal menjahit.

Seorang gadis bermain bola basket di Al Salam School di Turki

Namun keramahtamahan Turki tidak universal. “Mereka menimbulkan masalah, orang-orang Suriah itu,” kata salah satu penduduk Reynhali. “Mereka tak punya uang, pekerjaan, rumah. Berapa banyak yang bisa kami bantu?”

Tapi Fatrwi mengenang seorang pria Turki yang mengunjunginya setelah mereka berdua shalat berjamaah di masjid setempat. Pria itu memperhatikan bahwa Fatrwi dan keluarganya tidur di lantai, jadi esok harinya dia membawakan mereka kasur.

“Sudah cukup bagi saya bahwa mereka mempersilakan kami datang ke negara mereka,” kata Fatrwi. “Mereka sudah berbuat cukup banyak. Dan saya ingin menjaga harga diri dan tidak minta apa-apa.”


Peta Lebanon

Lebanon, sebaliknya, rapuh bahkan sebelum perang sipil Suriah memuntahkan satu juta orang ke negara tersebut.

Pendudukan Suriah atas Lebanon selama beberapa dasawarsa baru berakhir pada 2005. Wilayah-wilayah Lebanon, termasuk Beirut selatan, terpukul dalam perang tahun 2006 antara Israel dan kelompok milisi dan partai politik Syiah, Hizbullah. Belakangan, kelumpuhan politik membuat Lebanon tak punya presiden selama dua tahun, sampai akhir tahun lalu.

Dalam situasi terbaik sekalipun, Lebanon merupakan campur-aduk bangsa dan agama: Kristen, Muslim Sunni, Muslim Syiah, Druze, dan lain-lain. Kekuasaan politik dibagi secara demikian. Itu dilakukan berdasarkan asumsi demografis yang kini ketinggalan zaman, tapi tak seorangpun tertarik menghitung ulang karena khawatir bisa menyulut seruan untuk merombak cara alokasi kekuasaan.

Keseimbangan ini telah ditantang oleh kedatangan pengungsi Suriah, yang kebanyakan adalah Sunni.

“Jika para pengungsi menetap, Sunni akan jadi mayoritas. Kristen, juga Druze dan Syiah, akan beremigrasi karena Sunni punya pola pikir ekstrimis dan pada akhirnya akan mengambilalih,” kata Diab Madwar, pekerja pertanian dari desa Kristen Ammiq di Lembah Bekaa.

“Tentu saja, saya mendukung Assad. Rakyat Suriah ingin kebebasan. Sekarang mereka menghancurkan negara sendiri,” imbuhnya. “Padahal kami biasa iri pada mereka.”

Hizbullah bertempur di Suriah untuk kepentingan Assad. Para pendukungnya juga tidak senang soal pengungsi Sunni di Lebanon.

“Kenapa sebagian besar dari mereka wanita dan anak-anak?” tanya Maher Dana, jurnalis yang bekerja untuk corong media afiliasi Hizbullah. “Karena kerabat mereka bertempur sebagai teroris di Suriah. Itu sebabnya mereka tidak melarikan diri di dalam negeri. Ada tempat-tempat aman di dalam Suriah, tapi kebanyakan terafiliasi dengan organisasi teroris.”

Disampaikan pada Dana bahwa orang Suriah meninggalkan negaranya mungkin karena khawatir dengan apa yang akan menimpa mereka jika ditahan oleh pasukan Suriah.

“Sudah pasti ada penyiksaan,” katanya. “Ini perang dan Anda tak bisa mengendalikan segalanya. Dan mayoritas orang yang ditahan adalah teroris. Kita tak mungkin menempatkan mereka di hotel bintang lima. Tentara Suriah dan Hizbullah sedang berbuat jasa besar untuk umat manusia karena mereka memerangi terorisme demi kepentingan dunia.”

Anas, pengungsi Suriah yang hidup bersama enam anak di pinggiran kota Beirut, mengkhawatirkan perpecahan sektarian di rumah baru mereka. Suami Anas raib di Suriah, dan dia sedang mengalami tekanan keuangan ekstrim. Dia bertahan hidup dengan bantuan tunai yang disediakan oleh UNHCR dan World Food Program. (Banyak LSM dan lembaga bantuan mengadopsi praktek pembagian uang ketimbang barang atau pangan karena itu memberi pengungsi pilihan dan mengalirkan uang ke perekonomian setempat.)

Sebelumnya Anas dan anak-anak hidup di antara orang Suriah lain di apartemen ilegal yang disewakan oleh pemilik asal Lebanon. Polisi menggerebek flat tersebut dan dia diusir, kehilangan banyak barang dan menghabiskan seminggu sebagai tunawisma sebelum menemukan apartemen dua kamar dengan bantuan UNHCR. Dia menduga seseorang di lingkungan itu membocorkan informasi kepada polisi.

“Akibat penggerebekan itu kami merasa tak disambut di sini, terutama karena mayoritas tetangga kami adalah Kristen dan kami Muslim,” katanya. “Saya tidak merasakan permusuhan sebelumnya, tapi kini saya merasa orang Lebanon melihat kami secara berbeda. Kami tinggal di rumah dan tidak keluar. Kalau butuh sembako, kami keluar di malam hari.”

Suara Abid – Lulusan enam penjara Assad

Di bawah ketegangan keagamaan, ada urusan yang seringkali lebih bersifat duniawi. “Mereka mengambil semua lapangan kerja karena upah mereka lebih rendah daripada yang diminta oleh pekerja Lebanon, jadi para pemilik pertanian Lebanon menyewa mereka. Dan mereka memakan makanan murah: gula, teh, roti, kacang lentil. Orang Lebanon tidak bisa makan seperti itu,” kata Karim Farah, yang tinggal di Ammiq.

Michelle Cameron, dubes Kanada untuk Lebanon, berkata: “Kalau soal struktur [sosial] Lebanon, kami tidak khawatir atas dasar perbedaan agama. Kami khawatir dengan kohesi sosial.”

Faktor-faktor yang dapat mengoyak ikatan tersebut mencakup persaingan atas lapangan kerja dan layanan [sosial]. Dia bilang, banyak dari program dana Kanada di Lebanon bertujuan memperkuat ikatan sosial dengan menyasar pengungsi maupun anggota masyarakat tuan rumah.

Bantuan dan dana pembangunan Kanada di Lebanon diberikan kepada lembaga-lembaga PBB atau LSM, bukan pemerintah Lebanon. Kehadiran Hizbullah dalam pemerintah Lebanon menghalangi hubungan Kanada dengannya. “Mereka organisasi teroris dan kami punya kebijakan ‘jangan menjalin kontak’,” kata Cameron.

Tapi Ottawa mendukung militer Lebanon. Prajurit Kanada akan segera mengadakan pelatihan. Dan pada bulan Juni, Kanada menyumbang pakaian musim dingin dan peralatan daki gunung senilai lebih dari $4 juta untuk membantu prajurit Lebanon mengamankan perbatasan negara dengan Suriah. “Membangun angkatan bersenjata Lebanon yang kuat berarti tidak ada alasan untuk keberadaan pasukan paramiliter Lebanon di negara ini,” kata Cameron, mengacu pada Hizbullah.

Kanada menggelontorkan $15 juta kepada UNICEF di Lebanon untuk membantu menyokong sistem pendidikannya, termasuk memperbaiki mutu sekolah dan membayar mereka agar mendidik anak-anak dalam dua shift sehingga banyak siswa pengungsi Suriah dapat diakomodir.

Tapi penelitian Issam Fares Institute for Public Policy and International Affairs, American University of Beirut, mengindikasikan 61% pengungsi Suriah usia sekolah di Lebanon tidak hadir di sekolah, dan bahwa tingkat putus sekolah untuk pengungsi di sekolah umum mungkin menyentuh angka 70% akibat faktor-faktor seperti bahasa (banyak dari pendidikan umum Lebanon diberikan dalam bahasa Prancis atau Inggris), biaya keuangan, pemeloncoan, dan kesulitan adaptasi.

“Kita sedang menciptakan segmen masyarakat Suriah yang terjepit dalam lingkaran jahat kemiskinan dan ketakberpendidikan,” kata Nasser Yassin, direktur riset di institut tersebut.

Para pejabat PBB menyatakan kelalaian ini tidak disengaja. Justru, tugas yang dihadapi Lebanon, oleh sebab pengungsi yang diserapnya, terlalu berat.

Bahwa Lebanon belum tekuk di bawah tekanan ini, itu berkat pemerintahan kotamadya yang efektif dan kelompok masyarakat sipil, pertolongan dari LSM, serta lapangan kerja yang disediakan oleh sektor pertanian Lebanon untuk banyak orang Suriah, kata Yassin.

Faktor-faktor ini barangkali mempunyai batas waktu, imbuhnya. Lebanon akan semakin rawan seiring perang Suriah terus menggilas.


Peta Yordania

Yordania, yang sangat terpapar dampak perang Suriah dan krisis pengungsi, telah dirusak olehnya. Ekonomi perdagangannya telah hancur. Sumber-sumber penghasilan dipajaki. Rakyat Yordania mengeluhkan persaingan mencari kerja dengan orang Suriah.

Tahun lalu, sebuah bom mobil bunuh diri ISIL menewaskan tujuh prajurit Yordania di perbatasan dengan Suriah, akibatnya Yordania menutup perbatasan tersebut dan puluhan ribu orang Suriah terdampar di sebuah kamp sementara di garis perbatasan. Sepuluh orang, termasuk satu wanita Kanada, juga tewas dalam sebuah serangan di kota Qatraneh, yang juga diklaim oleh ISIL.

Dan kendati Yordania adalah anggota koalisi internasional melawan ISIS, sekitar 2.000 warga Yordania bergabung dengan kelompok itu. Sebuah sumber yang dekat dengan pemerintahan menyebut Yordania tidak terlalu dipusingkan oleh hal ini, memandang arus keluar tersebut sebagai cara terbebas dari para jihadis.

Tapi Yordania tetap relatif stabil. Dinas intelijennya kompeten. Negara ini menikmati hubungan akrab dengan beberapa negara Barat, termasuk Kanada, yang sedang mengadakan misi pelatihan militer di Yordania.

Dan, tak seperti Lebanon, Yordania menerima pendanaan langsung dari Kanada. Sejak 2015, Kanada mengalokasikan sedikitnya $30 juta dana terkait pengungsi untuk pemerintah Yordania. Negara tersebut telah berjalan menuju program yang bertujuan memperbaiki sistem pendidikan Yordania.

Kanada juga memberikan perbekalan milter, termasuk peralatan cuaca basah untuk tentaranya, dan bahan-bahan untuk konstruksi “bangunan pertahanan” sepanjang perbatasan Yordania dengan Suriah untuk membantu mencegah serbuan ISIL.

Peter MacDougall, dubes Kanada untuk Yordania, menggambarkan bantuan Kanada kepada Yordania sebagai bantuan kemanusiaan dan strategis: “Jika Yordania terjungkal, ketidakstabilan kawasan akan lebih besar lagi. Kehadiran kami di sini untuk menghadirkan stabilitas bagi Yordania sehingga kami dapat membantu mereka merespon tekanan besar krisis pengungsi terhadap negara ini.”

Tapi menurut Ayman Halaseh, profesor bidang HAM dan hukum internasional publik di Universitas Al-Isra di Amman, faktor yang menghalangi kontribusi pengungsi pada pertumbuhan ekonomi Yordania adalah kurangnya perlindungan negara untuk mereka terhadap eksploitasi.

“Ini jadi lebih mirip tenaga kerja paksa,” katanya. “Mereka takut untuk menuntut hak. Jika Anda orang Suriah yang bekerja untuk saya dan saya tidak menggaji Anda di akhir bulan, apa yang bisa Anda perbuat? Status hukum Anda ambigu.”

Alhasil, banyak orang Suriah yang mungkin punya pekerjaan berketerampilan tinggi di Suriah kini bekerja di Yordania demi upah rendah atau secara sembunyi-sembunyi.

“Jangan pikir karena kami hidup seperti ini kami dulu miskin,” kata Abed Abdulhamid, mekanik mobil dari sebuah desa dekat Darayya. Sekarang dia hidup bersama keluarganya di apartemen kecil di Amman timur dan bekerja sebagai satpam dan petugas kebersihan kantor.

“Oh, andai saya bisa menjamu Anda di Suriah, Anda akan melihat bengkel saya dan rumah kami. Ada dua lantai dan taman besar.”

Setelah adiknya yang berusia 14 tahun ditembak oleh penembak jitu saat membawa pulang roti dari toko roti sekitar, dia meninggalkan Suriah. Isterinya mempunyai tiga saudara lelaki yang hilang atau mati.

“Kami ingin Anda tahu, kami tak punya pilihan,” katanya soal meninggalkan Suriah. “Kami melarikan diri demi anak-anak.”


Keputusan Perdana Menteri Trudeau untuk menambah jumlah pengungsi Suriah yang akan diberi pemukiman di Kanada, dan untuk menjadikan kebijakan ini sebagai landasan citranya, merupakan langkah politik tangkas.

Pengungsi disaring di luar negeri, sehingga mengurangi resiko keamanan bagi Kanada, dan jumlah yang dimasukkan ke Kanada, dibanding mereka yang berada di Jerman, apalagi Turki, Lebanon, atau Yordania, sangatlah kecil.

Sikap merangkul pendatang baru asal Suriah yang ditunjukkan Trudeau, bila dibandingkan dengan nativisme xenofobis yang merajalela di tempat lain di dunia, membantu memperkuat citranya sebagai jawara pluralisme global.

“Walau itu cerita hebat, saya tak ingin melalaikan fakta bahwa keterlibatan Kanada tak boleh berhenti pada pemukiman ulang,” kata Trudeau di hadapan sebuah konferensi PBB tahun lalu, setelah seorang moderator panel menyebut Trudeau menyambut langsung orang Suriah yang tiba di Bandara Pearson, Toronto.

Di sini ada pengakuan bahwa dampak nyata krisis pengungsi Suriah bukanlah di Kanada, tapi Timur Tengah. Dan kendati jumlah uang yang Kanada belanjakan untuk bantuan luar negeri sebagai persentase dari Pendapatan Nasional Bruto saat ini mendekati titik rendah sepanjang sejarah, $1,1 miliar dana bantuan dan pembangunan yang Kanada belanjakan di negara-negara paling terdampak perang Suriah beserta pengungsinya merupakan angka signifikan.

Itu juga pengalihan—perbuatan baik yang mengaburkan fakta bahwa belum banyak yang dilakukan untuk menangani sebab kepergian orang Suriah dari kampung halaman mereka.

“Orang Suriah disalahkan lantaran menjadi pengungsi,” kata Mahmoud Haman, seorang pengasingan Suriah di Turki, “tapi alasan kenapa kami menjadi pengungsi tidak disalahkan.”

Alasan kenapa dia dan begitu banyak orang Suriah lain menjadi pengungsi adalah, tentu saja, perang sipil. Orang Suriah yang lari dari pasukan Bashar al-Assad jauh lebih banyak daripada yang lari dari pasukan ISIL, dan rezim Suriah beserta sekutu Rusianya telah membunuh lebih banyak orang Suriah daripada pihak manapun dalam perang sipil ini.

Sampai beberapa waktu lalu, fakta tersebut tidak cukup bagi pemerintahan Trudeau untuk secara eksplisit menuntut Assad pergi.

“Dari perspektif kami, ini harus inisiatif Suriah. Ini harus sesuai keinginan rakyat Suriah. Bukan Kanada atau kelompok lain yang berkata ‘kalian akan’ atau ‘kalian harus’,” kata Cameron, dubes Kanada untuk Lebanon, dalam sebuah wawancara bulan Maret, seraya menambahkan: “Jika kita punya pemilu bebas dan adil, saya secara pribadi tak bisa membayangkan rakyat Suriah akan memilih Assad tetap berkuasa.”

Suara Wadad – Seorang pengungsi Suriah-Palestina

Itu sebelum serangan senjata kimia terhadap kota Khan Shaykhun di provinsi Idlib bulan April lalu. Lebih dari 70 orang, termasuk anak-anak, diserang dengan gas beracun sampai mati. Kanada, AS, dan sebagian besar sekutu mereka percaya rezim Assad bertanggungjawab. Suriah dan Rusia menyangkal terlibat.

Presiden AS Donald Trump merespon dengan meluncurkan 59 rudal jelajah ke sebuah pangkalan udara Suriah. Beberapa hari kemudian, Justin Trudeau, berpidato di Juno Beach, di mana pasukan Kanada memulai pembebasan Eropa Barat semasa Perang Dunia II, menyatakan dunia perlu “bergerak secepat mungkin menuju perdamaian dan stabilitas di Suriah yang tak mengikutsertakan Bashar al-Assad”.

Tidak jelas apa yang, jika ada, Kanada siap lakukan untuk mewujudkan ini. Tentu saja, Kanada tak bisa berbuat banyak secara unilateral, dan kebijakan Trump mengenai Suriah, jika ada, sulit dimengerti.

Tapi sekalipun Kanada tidak akan bertindak untuk mempercepat kejatuhan Assad, mereka tetap bersiap untuk itu.

Pemerintahan Liberal Trudeau, seperti pemerintahan Konservatif Stephen Harper sebelumnya, mendanai Commission for International Justice and Accountability, sebuah badan investigasi yang menghimpun bukti-bukti kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama perang sipil Suriah, dan dalam konflik-konflik lain, dengan tujuan menuntut para pelaku.

Bill Wiley, pendiri dan direktur eksekutifnya, menyebut grup ini telah melarikan lebih dari 700.000 halaman dokumen terkait kegiatan pemerintah dari Suriah. Dia bilang bukti-bukti hasil pengumpulan yang mempersangkutkan rezim dalam kejahatan perang dan kekejaman lain sangat kuat.

Tapi hari di mana Assad menghadapi peradilan terasa masih jauh, dan, karenanya, begitupun waktu di mana orang Suriah akan pulang. Ini berarti ketidakstabilan dan ketegangan sosial yang disebabkan oleh krisis pengungsi, di Timur Tengah dan di luar, akan terus berlangsung. Begitupun tumpukan kekacauan hidup, tragedi pribadi, dan kekecewaan yang diderita oleh pengungsi sendiri.

Yusuf, 11 tahun

Di Haya Cultural Center di pinggiran kota Amman, anak-anak pengungsi dan anak-anak Yordania bersama-sama belajar drama, menari, dan kegiatan lain dalam program yang dibiayai pemerintah Kanada melalui yayasan World Vision Canada.

Baru-baru ini mereka mementaskan sebuah sandiwara. Ceritanya tentang seorang bocah lelaki yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya dan berjuang di negara tempat pelariannya, di mana dia dicemooh dan dipukuli.

Plot tersebut merupakan kiasan pengalaman pengungsi Suriah di Yordania. Yusuf, pengungsi Suriah berusia 11 tahun yang memainkan peran protagonis, menyatakan melihat dirinya sendiri dalam cerita ini.

“Itu kesempatan untuk memberitahu orang lain apa yang sudah menimpa saya,” katanya tentang perannya. “Saya ingin mereka merasakan bagaimana perasaan saya ketika datang ke sini. Jadi saya harus berusaha keras.”

Dalam sandiwara, sang bocah menolong orang-orang yang telah menyiksanya, dan mereka pun berdamai. Ini tidak berbeda dari pengalaman Yusuf sendiri di Yordania. Dia mengaku mengalami masa sulit saat tiba di sana dan terlibat beberapa perkelahian dengan bocah-bocah Yordania sebelum berteman dengan mereka.

Sandiwaranya bisa saja berakhir bahagia di situ, tapi bukan begitu bagian akhirnya. Teman-teman baru si bocah membantunya pulang. Yusuf menginginkan hal yang sama.

“Di sanalah saya dibesarkan,” katanya tentang Suriah. “Itu tanah air saya.”

Tentang Penulis

Michael Petrou adalah R. James Travers Foreign Corresponding Fellow tahun 2017. Setiap tahun beasiswa ini menyediakan dukungan keuangan untuk proyek peliputan luar negeri penting oleh jurnalis Kanada. Pemberian tahunan ini untuk menghormati karir dan cita-cita sang mendiang jurnalis Ottawa Citizen, Toronto Star, dan Southam News.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.