Putin Pemain Kunci Dalam “New World Order”

Oleh: Alex Newman
23 September 2014
Sumber: The New American

Sesaat sebelum naik pesawat, Miguel Calehr (10 tahun), seperti banyak anak lainnya sebelum terbang, bertanya kepada ibunya apa yang akan terjadi bila pesawat jatuh. “Ayolah, jangan konyol, kau sudah sering bepergian,” kenang ibunda Miguel, Samira Calehr, akan ucapannya kepada si anak yang gugup. “Semua akan baik-baik saja.” Bocah itu tetap ketakutan, terlepas dari kata-kata menenangkan dari ibunya. Tapi bersama kakaknya, Shaka (19 tahun), di sampingnya, mau tak mau Miguel menyeret kakinya melewati pos pemeriksaan keamanan.

(AP Images)

“Mama, aku sayang mama,” ujar Miguel gugup sebelum melambai selamat tinggal dan menaiki penerbangan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur. Itu akan jadi kali terakhir Samira memeluk dua anaknya. Kedua kakak-beradik, meninggalkan saudara tengah (yang juga sahabat terbaik mereka) lantaran penerbangan Malaysian Arlines tersebut sudah penuh dipesan, sedang dalam perjalanan menjenguk Nenek di Indonesia. Mereka tak pernah sampai. Justru, bersama 296 lainnya dalam Penerbangan MH17, Miguel dan Shaka terhempas dari langit di atas ruang udara Ukraina pada 17 Juli.

Samira dan seluruh keluarga hancur dan takkan pernah pulih sepenuhnya. “Andai saya bisa memutar balik waktu. Saya tidak menghiraukannya saat itu. Entahlah, tak ada yang bisa saya katakan,” ungkap sang ibu yang pilu kepada CNN. “Kenapa mereka tidak mengambil nyawa saya? Mereka masih muda, mereka masih punya masa depan. Kenapa? Kenapa [harus] anak-anak? Kenapa bukan saya?” Nenek mereka, Yasmin Calehr, juga tak sanggup menahan air mata. “Setiap orang menangis, setiap orang kehilangan sesuatu milik mereka, tapi kami merasa seperti kehilangan diri kami sendiri,” katanya.

Di seantero Ukraina, ribuan keluarga lain juga berkabung atas kehilangan orang-orang terkasih. Menurut PBB, di awal September, lebih dari 3.000 orang telah tewas dalam konflik Ukraina yang berketerusan. Angka riilnya mungkin lebih tinggi lagi karena perang sipil—dikompori oleh pemerintah Rusia di satu sisi dan kekuatan-kekuatan Barat di sisi lain—terus merenggut korban lain. Penembakjatuhan MH17 membantu mengobarkan ketegangan geopolitik itu lebih jauh.

Di Moskow, pemimpin Vladimir Putin menyalahkan Barat atas pembantaian ini, sementara banyak pihak di Barat menyalahkan Putin, memandangnya sebagai penjahat komunis. Pihak-pihak Barat lainnya, ngeri oleh tindakan para pemimpin politik mereka yang lepas kendali, mulai memandang Putin dan rezimnya sebagai rintangan bagi akal bulus pemerintah AS dan Uni Eropa—mungkin bukan kekuatan kebaikan, tapi minimal tidak lebih buruk dari para elit di Barat. Bahkan dalam “Liberty Movement” Amerika, Putin telah mendapat teman di antara orang-orang yang memandangnya sebagai penghadang globalisme.

Sementara itu, di Brussels dan Washington DC, Presiden Obama dan berbagai pemimpin Eropa menunjuk Kremlin sebagai penjahat sesungguhnya di balik pertumpahan darah di Ukraina. Bahkan, banyak orang neokonservatif dan juga elit Demokrat membayangkan bahwa Putin mengancam kebebasan di Barat. Pamer kekuatan militer terkait masalah Ukraina, yang terjadi tak lama setelah adu ejek antara Putin dan Obama seputar perang di Suriah, justru menambah panas suasana.
Tapi bagaimana jika semua tidak seperti kelihatannya? Bagaimana jika—terlepas dari histeria “Timur vs Barat” dan “Perang Dingin Baru” yang dikobarkan oleh politisi dan media arus utama—kedua kubu sebetulnya sedang bekerja menuju cita-cita yang sama dengan memanfaatkan sarana yang sama? Terdengar mustahil, ya? Namun, bukti-bukti mengindikasikan ini bukan saja mungkin—justru inilah persis yang sedang terjadi.

Pendekatan “Regional” Menuju Tatanan Dunia

Terlepas dari pamer kekuatan militer, para globalis di kedua kubu Timur-Barat menyebut cita-cita mereka sebagai pembentukan “New World Order”. “Tatanan” yang mereka bicarakan ini, sebagaimana akan kami perlihatkan, pada hakikatnya melambangkan sistem kendali politik dan ekonomi global atas umat manusia. Dan Putin, mantan bos KGB, sedang menempuh persis siasat-siasat ke arah tatanan dunia yang digarisbesarkan oleh elit Barat yang konon dia hadang. Dia sering menyebut visinya sebagai penegakan tatanan dunia baru “multipolar”. Tapi kian banyak bukti menunjukkan bahwa itu persis tatanan yang sama yang diusahakan para calo kekuasaan globalis Barat.

Salah satu kunci untuk memahami peran krusial Putin dalam menegakkan “New World Order” atas umat manusia adalah mengetahui bagaimana para penyokong tatanan ini berencana membangunnya. Alih-alih memberlakukan paksa pemerintahan global totaliter matang atas dunia secara tiba-tiba, para globalis top di seluruh dunia menggarisbesarkan siasat berbeda. Intinya, plot ini bermaksud membagi masyarakat dan negara-negara di muka bumi ke dalam “kawasan-kawasan” masif yang diatur oleh lembaga supranasional—semisal Uni Eropa, yang kini bertanggungjawab atas sebagian besar undang-undang Eropa—yang nyaris bebas dari kendali atau pengawasan khalayak. Garis besar rencana tersebut kini kelihatan di depan umum.

Bahkan, mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger—salah satu pengomplot “New World Order” globalis yang blak-blakan—telah menjelaskan siasat ini secara terbuka dalam banyak kesempatan. Paling anyar, menulis di Wall Street Journal pada 29 Agustus, Kissinger, dengan tulisan buram dan agak hambar, menjelaskan bagaimana proses ini semestinya bekerja. “Pencarian kontemporer terhadap tatanan dunia akan memerlukan strategi padu untuk membentuk konsep tatanan di dalam berbagai kawasan dan untuk memperhubungkan tatanan-tatanan regional ini dengan satu sama lain,” jelasnya dalam opini editorial bertajuk “Henry Kissinger on the Assembly of a New World Order”.

Tapi siasat ini bukan barang baru. Pada 1995, sesama globalis dan eks Penasehat Keamanan Nasional AS Zbigniew Brzezinski, arsitek Trilateral Commission jahat milik David Rockefeller, pada dasarnya menggarisbesarkan rencana yang sama. “Kita tidak mempunyai New World Order… Kita tidak bisa melompat ke dalam pemerintahan dunia dalam satu langkah cepat,” ujarnya pada 1995 di “State of the World Forum”, diadakan oleh mantan diktator Soviet Mikhail Gorbachev dan dibekingi keluarga Rockefeller dan kekuatan elit Barat lainnya. “Ringkasnya, prakondisi untuk globalisasi final—globalisasi tulen—adalah regionalisasi progresif, sebab dengan begitu kita bergerak ke arah satuan-satuan yang lebih besar, lebih stabil, lebih kooperatif.”

Di antara contoh-contoh paling gamblang yang menekankan tren ini adalah Uni Eropa, yang lebih maju dibanding rezim regional lain dalam menggilas kedaulatan nasional dan memerintah beragam negara dengan dekrit birokratis. Mantan diktator Soviet Gorbachev, penyokong blak-blakan “New World Order”, dengan rasa setuju menyebut super-negara yang bermarkas di Brussels itu sebagai “Soviet Eropa baru”—di bawah komunisme, tentunya “Soviet” adalah sebuah dewan pemerintahan yang dipakai untuk mengendalikan masyarakat dan mencegah kontra-revolusi. Gorbachev tepat dalam lebih dari satu hal.

Meski UE Sovietesque berfungsi sebagai model untuk wilayah-wilayah dunia lainnya, ia hampir tidak sendirian. Dekat dengan rumah di Amerika Utara, para globalis top seperti mantan jenderal dan kepala CIA David Petraeus, seorang anggota Council on Foreign Relations yang berfokus globalis dan grup bayangan Bilderberg, awal tahun ini secara terbuka mengakui apa yang akan datang berikutnya. “Setelah Amerika, datang Amerika Utara,” kata Petraeus penuh percaya diri saat menjawab pertanyaan tentang apa yang datang setelah AS, tema sebuah diskusi panel di mana dia turut serta. “Apa kita di ambang dekade Amerika Utara, tanda tanya? Saya sudah buang itu—saya sudah buang tanda tanya itu—dan dengan berani memproklamirkan datangnya dekade Amerika Utara, kata tajuk saat ini.” Sebagaimana di Eropa, fondasi semua itu adalah perjanjian “perdagangan bebas” yang salah nama.

Uni Eurasia Putin

Pamer kekuatan militer oleh Putin terkait Ukraina sedang menyediakan dasar rasional untuk kelanjutan integrasi Barat—via UE, NATO, dan “kemitraan transatlantik”—guna menghadang beruang Rusia. Tapi selain itu, Putin juga mengejar “New World Order” lewat pendekatan regionalisasi. Paling utama di antara skema-skema ini, minimal untuk saat ini, adalah “Uni Eurasia”, yang menyatukan rezim-rezim pemerintah Rusia, Belarusia, dan Kazakhstan. Pada akhirnya, Putin dan sejawatnya berharap memperluas uni untuk mencakup rezim-rezim bekas Soviet lain di kawasan, terutama para anggota Commonwealth of Independen States (CIS). Akhir Mei lalu, ketiga pemimpin menandatangani apa yang Putin lukiskan sebagai traktat “bersejarah” yang mengantarkan “Uni Ekonomi Eurasia”.

Banyak analis melihat perkembangan ini sebagai kemunculan kembali Uni Soviet. Dalam artikel tahun 2011 karangan Putin perihal skema ini, yang dipublikasikan oleh Izvestia, bertajuk “A New Integration for Eurasia: The Future in the Making”, sang mantan bos KGB menyangkal uni regional barunya melambangkan kelahiran kembali USSR. Namun, kata-katanya mengungkap ketaatan nyaris penuh pada siasat terbuka globalis Barat untuk membangun New World Order—menggunakan regionalisasi kekuasaan secara progresif di jalan menuju pemerintahan global sejati sambil memproduksi dan mengeksploitasi krisis.

“Makan waktu 40 tahun bagi Eropa untuk beralih dari Europan Coal and Steel Community ke Uni Eropa penuh,” tinjau Putin dalam opini editorial Izvestia tersebut, kini dipublikasikan di situs misi diplomatik Kremlin untuk UE. “Pendirian Customs Union dan Common Economic Space melaju jauh lebih cepat karena kita bisa menyerap pengalaman UE dan perhimpunan regional lain.” Bahkan keselarasan rezim regulasi Eurasia yang sedang diberlakukan lewat skema regional tersebut “dalam banyak kasus cocok dengan standar Eropa,” imbuhnya. Segera, itu mungkin cocok dengan regulasi di “Amerika Utara” juga, seiring “Transatlantic Trade and Investment Partnership UE-Amerika Utara terus bergerak.

Adapun visi luas Putin dan kawan-kawan, sekali lagi, itu mungkin juga sudah diuraikan oleh Kissinger dalam salah satu opini editorial “New World Order”-nya. Putin menulis: “Kami mengusulkan sebuah perhimpunan supranasional kuat yang mampu menjadi salah satu kutub di dunia modern dan berfungsi sebagai jembatan efisien antara Eropa dan kawasan dinamis Asia Pasifik. Berdampingan dengan para pemain kunci dan struktur regional lain, semisal Uni Eropa, AS, China, dan APEC, Uni Eurasia akan membantu memastikan pembangunan global yang berkelanjutan.” Pembangunan berkelanjutan, tentu saja, sebagaimana pembaca reguler ketahui, melambangkan puncak visi globalis Barat untuk tatanan barunya—kendali global tersentralisasi atas setiap aspek hidup manusia.

Putin juga menjelaskan bahwa rezim regionalnya akan “berlandaskan prinsip-prinsip WTO”, mengacu pada World Trade Organization globalis. Seperti “blok-blok” penyusun regional New World Order lainnya, ini akan mengejar cita-cita yang sama. “Uni Eurasia akan berlandaskan prinsip-prinsip integrasi universal sebagai bagian hakiki dari Eropa Raya yang dipersatukan oleh nilai-nilai bersama berupa kebebasan, demokrasi, dan hukum pasar,” jelasnya.

Pada akhirnya, sebagai bagian dari siasat globalis, pencarian tatanan dunia akan harus “memperhubungkan tatanan-tatanan regional ini dengan satu sama lain”, seperti kata Kissinger baru-baru ini. Lagi-lagi, Putin menempuh garis tersebut. “Rusia dan UE sepakat membentuk ruang ekonomi bersama dan mengkoordinir regulasi ekonomi tanpa pendirian struktur supranasional pada 2003 silam,” tulisnya. “Segaris dengan gagasan ini, kami mengusulkan pendirian komunitas ekonomi selaras yang membentang dari Lisbon sampai Vladivostok, zona perdagangan bebas dan bahkan penerapan pola-pola integrasi yang lebih rumit. Kami juga mengusulkan untuk mengejar kebijakan terkoordinir di bidang industri, teknologi, sektor energi, pendidikan, sains, dan juga akhirnya membuang visa. Usulan-usulan ini belum dicampakkan; kolega-kolega Eropa kami sedang merundingkannya secara rinci.”

Integrasi dengan UE juga ada dalam agenda, meski itu harus menunggu masalah Ukraina reda. “Segera Customs Union, dan kemudian Uni Eurasia, akan ikut dialog dengan UE,” kata Putin. “Alhasil, selain menghadirkan manfaat ekonomi langsung, akses ke Uni Eurasia akan turut membantu negara-negara berintegrasi ke dalam Eropa lebih cepat dan dari posisi lebih kuat… Di samping itu, kemitraan antara Uni Eurasia dan UE yang konsisten dan seimbang secara ekonomi akan mendorong perubahan susunan geopolitik dan geoekonomi benua tersebut secara keseluruhan dengan efek global tak terhindari.”

Puncaknya, sebagaimana diperjelas oleh Putin, seluruh dunia akan dilibatkan. “Kami yakin akan ditemukan solusi dalam menemukan pendekatan bersama dari bawah ke atas, pertama-tama di dalam lembaga regional yang ada, seperti di antaranya UE, NAFTA, APEC, ASEAN, sebelum mencapai kesepakatan dalam dialog antara mereka,” tulisnya. “Ini semua adalah batu bata integrasi yang dapat dipakai untuk membangun ekonomi global lebih berkelanjutan.”

Sebagai contoh bagaimana itu dapat bekerja, Putin menunjuk dua rezim regional terbesar di benua tersebut, UE dan Uni Eurasia-nya yang “sedang dibangun”. “Dalam membangun kerjasama di atas prinsip aturan perdagangan bebas dan sistem-sistem regulasi yang cocok, mereka ada dalam posisi untuk menyebarkan prinsip-prinsip ini termasuk melalui pihak ketiga dan lembaga regional, dari Samudera Atlantik hingga Samudera Pasifik,” katanya. “Dengan begitu mereka akan menciptakan wilayah yang selaras secara ekonomis… Pada titik itu, akan masuk akal melakukan dialog konstruktif tentang fundamental kerjasama dengan negara-negara Asia Pasifik, Amerika Utara, dan kawasan lain.”

Tentu saja, Putin hampir bukan satu-satunya globalis yang mengejar visi ini. Para anggota senior kekuasaan Barat telah secara terbuka mempromosikan siasat yang sama. Pada akhir 2012, contohnya, pemimpin tinggi UE dan Rusia, termasuk Putin, bertemu di Brussels untuk KTT UE-Rusia ke-30. “Dengan bekerjasama, UE dan Rusia bisa membuat sumbangsih tegas untuk tata kelola global dan resolusi konflik regional, untuk tata kelola ekonomi global dalam G8 dan G20, dan untuk sederet isu internasional dan regional,” jelas Presiden Dewan Eropa Herman Van Rompuy, yang bertemu Kissinger dan globalis top lain di KTT Bilderberg sesaat sebelum diangkat ke posnya sebagai “presiden” Eropa. “Saya ingin mengucapkan selamat kepada Presiden Putin yang telah mengambilalih kepresidenan G20.”

Putin Kunjungi Para Despot Amerika Latin Untuk Dorong New World Order

Putin telah mengejar pendekatan “regionalisasi” menuju tatanan dunia baru bukan saja di Eurasia tapi juga di sisi lain Atlantik, di mana dia sedang menyalakan kembali persekutuan lama era Soviet dengan rezim-rezim anti-Amerika paling jahat di halaman belakang Amerika.

Juli lalu, contohnya, Putin dan diktator Komunis China Xi Jinping, sekutu dekat Kremlin, mengunjungi Amerika Latin untuk mendorong apa yang mereka lukiskan sebagai “tatanan internasional” baru. Selain menggenjot hubungan antara rezim mereka dan penguasa berwatak totaliter di kawasan tersebut, Putin dan Xi menandatangani kesepakatan besar dengan sejawat mereka di Belahan Bumi Barat dalam segala bidang mulai dari perdagangan dan kerjasama ekonomi hingga isu militer dan spionase. Tidak sedikit analis menguraikan bahwa kunjungan resmi China-Rusia itu mengilustrasikan pentas geopolitik yang bergeser cepat, di mana dunia sedang digembalakan secara terkendali ke arah tatanan dunia baru “multipolar”—bercirikan AS yang dikebiri, kelompok-kelompok regional yang kuat, dan “tata kelola” regional dan global yang lebih tidak akuntabel.

Dari awal, Putin menekankan bahwa regionalisasi termasuk tujuan utama kunjungannya. “Kami menaruh perhatian pada Amerika Latin yang kuat, stabil secara ekonomi, dan merdeka secara politik, yang sedang menjadi bagian penting dari tatanan dunia polisentris baru,” ungkapnya. Mantan bos KGB ini juga memuji banyak skema integrasi sebagai mitra dalam upayanya—terutama Community of Latin America and Caribbean States (CELAC), yang mencakup semua pemerintahan di Amerika kecuali AS dan Kanada.

Bukan cuma CELAC—didirikan pada tahun-tahun belakangan oleh kaum sosialis Amerika Latin dengan dukungan kuat Cina-Rusia sebagai “imbangan berat” bagi “imperialisme” AS—yang diminati oleh Putin. Nyatanya, sang pemimpin Rusia menyebut Moskow “terbuka terhadap interaksi substantif dengan semua formasi integrasi di kawasan Amerika Latin.” Itu meliputi Union of South American Nations (UNASUR), Common Market of the South (Mercosur), Bolivarian Alliance for the Peoples of Our America (ALBA), Pacific Alliance, Central American Integration System (SICA), dan Caribbean Community (CARICOM), tutur Putin di Havana.

“Penting sekali semua perhimpunan ini, seiring mengembangkan hubungan eksternalnya, bekerja menuju kesatuan negara-negara Amerika Latin…secara politik maupun ideologi,” kata Putin. “Kami harap konsolidasi kerjasama multilateral akan menjadi faktor tambahan dalam pembangunan hubungan bilateral yang sukses dengan mitra-mitra Amerika Latin.” Tren serupa sedang berlangsung di seluruh dunia, tinjau sang penguasa Rusia. Dia berkata, “Proses integrasi di Amerika Latin mencerminkan kecenderungan integrasi regional di seluruh dunia dan mengindikasikan upaya konsolidasi politik di kawasan dan penguatan pengaruhnya terhadap urusan global.”

Penguasa Komunis China Xi Jinping, yang rezimnya kini rutin menyerukan “New World Order”, dan Putin menyingkap sebuah “bank pembangunan” dunia yang baru yang dijalankan oleh rezim-rezim BRICS—Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—berwatak sosialis-komunis ketika kedua penguasa otokrat bertemu di Brazil pertengahan Juli lalu. Diskusi mengenai perangkat perbankan internasional, diduga dirancang sebagai “imbangan berat” bagi lembaga-lembaga yang dikuasai Barat, telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pada pertemuan tahunan BRICS tahun ini, kelima rezim akhirnya menandatangani kesepakatan untuk merangkai itu semua.

Tidak sedikit analis salah mendiagnosa makna perkembangan terbaru, mengklaim bank baru BRICS ini melambangkan “tantangan” terhadap visi “New World Order” milik para elit Barat. Padahal, mayoritas rezim BRICS dan sekutunya mendapat bekingan kuat dari kelas politik AS dan Eropa. Dan mereka semua mendorong plot jahat yang hampir sama untuk “New World Order”—setidaknya jika deklarasi dan pernyataan mereka bisa dipercaya.

Juni lalu, Beijing dan 130-an pemerintahan negara lain di G77 menandatangani sebuah deklarasi yang menyerukan “New World Order to Live Well”. Ini, tentu saja, adalah tatanan yang sama yang didorong oleh Obama, Kissinger, Brzezinski, dan lain-lain. Globalis miliarder dan anak didik dinasti Rothschild, George Soros, pemain kunci lain dalam tatanan global yang sedang muncul, pernah menyeru Beijing, salah satu sekutu terdekat Putin, untuk “memiliki” “New World Order”.

Bos PBB Ban Ki-moon bahkan hadir di KTT Bolivia untuk merayakan “New World Order” yang sedang didorong oleh rezim-rezim dunia ketiga. Dia memuji pemerintah-pemerintah bengis yang berkumpul di sana, meminta mereka terus mengkampanyekan “pembangunan berkelanjutan” otokratis dan “solusi” “perubahan iklim”, pilar kunci skema “tata kelola global” yang dimaksudkan untuk membelenggu umat manusia. “Semua negara perlu bertindak menurut prioritas-prioritas ini—secara sendiri-sendiri maupun kolektif,” kata Ban kepada hadirin, mengklaim “nasib miliaran orang” bergantung pada suksesnya upaya mereka. “Demikianlah saya memahami tema KTT ini—New World Order for Living Well. Sebagai blok pemerintahan terbesar di PBB, imbuhnya, mereka punya “peran kunci” dalam memajukan cita-cita perangkat global tersebut.

Putin dan Siasat “Globalisasi” Untuk Tatanan Dunia

Unsur penting lain dari siasat globalis, juga digarisbesarkan dalam artikel Wall Street Journal yang ditulis oleh Kissinger akhir Agustus lalu, melibatkan pemberlakuan “struktur kaidah dan norma internasional” yang “harus diangkat sebagai semacam pendirian bersama”. Dengan kata lain, di samping pendekatan “regionalisasi” menuju tata kelola global, struktur-struktur global harus ikut dibangun untuk kelak menjalankan “New World Order” seiring blok-blok regional terintegrasi.

Komponen penting New World Order globalis adalah pembentukan tata kelola moneter dan keuangan global. Di kedua front, Putin membantu mempelopori. Pada 2009, Kremlin bahkan mempublikasikan sebuah pernyataan yang menggarisbesarkan prioritas-prioritas menjelang KTT G20, menuntut pembentukan “mata uang cadangan supranasional yang akan diterbitkan oleh lembaga-lembaga internasional sebagai bagian dari reformasi sistem keuangan global”. IMF, sebut pernyataan ini, seharusnya mempertimbangkan memakai mata uang proto-globalnya yang dikenal sebagai “Special Drawing Rights”, atau SDR, sebagai “super mata uang cadangan yang diterima oleh seluruh komunitas internasional”. Keranjang mata uang nasional yang mendasari SDR juga akan diperluas.

Pada tahun itu juga, anak didik Putin, Dmitry Medvedev (kala itu menjabat “presiden” Rusia), mengeluarkan apa yang disebutnya koin “mata uang dunia bersatu di masa depan” dari sakunya di KTT G8. Koin tersebut memuat kata-kata “unity in diversity” (“kesatuan dalam kebhinnekaan”). Saat itu, dia menjelaskan kepada hadirin bahwa “berarti mereka sedang bersiap-siap. Saya kira itu pertanda bagus bahwa kita sadar betapa kita saling bergantung”. Pada Juni 2010, Medvedev mengulangnya. “Kita sedang membuat rencana untuk masa depan,” ujarnya penuh semangat di sebuah forum ekonomi internasional di St. Petersburg, Rusia. “Kita sedang bicara tentang pembentukan mata uang cadangan lain, dan kita sedang beharap negara-negara lain memahami ini.”

Tak heran, “negara-negara” lain—sebetulnya pemerintahan dan politisi Barat—memang memahami itu. Contohnya Presiden Prancis kala itu, Nicolas Sarkozy, berkata di forum tersebut bahwa negara-negara besar dunia “harus bersama-sama memikirkan sistem mata uang internasional baru” pada KTT G20 yang akan datang. Dia juga bilang sistem keuangan dunia “ketinggalan zaman” dan harus diganti. “Kita semua perlu memikirkan fondasi untuk sistem keuangan internasional baru,” desak Sarkozy. “Selama ini kita bersandar pada lembaga-lembaga Bretton Woods tahun 1945, ketika teman Amerika kita adalah satu-satunya adidaya. Pertanyaan saya: Apa kita masih di tahun 1945? Jawabanya, ‘Tidak.’”

Bagaimana dengan kaum globalis Amerika? Mereka juga bergabung penuh. Sebagai contoh, mantan bos Fed dan ketua “Dewan Penasehat Pemulihan Ekonomi”-nya Obama, Paul Volcker, sudah lama menjadi penyokong gigih mata uang fiat global dan bank sentral global. Dia dikabarkan pernah berkata, “Ekonomi global membutuhkan mata uang global.” Dan dia berulangkali menyerukan sistem demikian, berharap melihatnya muncul semasa dia hidup.

Di China, pemimpin tatanan dunia yang dicalonkan George Soros, bos bank sentral “rakyat” Zhou Xiaochuan juga sering menyerukan mata uang cadangan baru—selain seruan rutin rezim komunis di Beijing untuk New World Order yang “ter-deAmerikanisasi”. Dalam laporan 2009 yang dipublikasikan di situs bank sentralnya berjudul “Reform the International Monetary System”, Xiaochuan menjelaskan bahwa “maka dari itu, cita-cita reformasi sistem moneter internasional adalah menciptakan mata uang cadangan internasional yang terlepas dari negara-negara individual dan dapat tetap stabil dalam jangka panjang, sehingga menghapus kekurangan inheren yang disebabkan oleh penggunaan mata uang nasional berbasis kredit”.

Saat ditanya soal gagasan rezim Komunis China ini di sebuah acara Council on Foreign Relations, Menteri Keuangan AS penghindar pajak, Timothy “TurboTax” Geithner, penyokong tetap regulasi global dan globalis penting, setelah mengaku belum membacanya, berkata, “Kami sebetulnya cukup terbuka dengan itu.”

Apa maknanya mata uang global bagi orang Amerika? Sebagai permulaan, itu mengharuskan hilangnya status dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia. Ini berarti devaluasi mata uang orang Amerika secara dramatis, dengan segala implikasinya—lonjakan harga barang-barang impor yang padanya Amerika bergantung penuh saat ini, sebagai contoh. Sekarang ini, bank sentral Amerika, Federal Reserve yang dimiliki swasta, membantu pemerintah Amerika membiayai perang-perangnya, tentara birokratnya, sistem kesejahteraan pembeli loyalitas, dan skema-skema lain dengan mencetak mata uang berbasis utang.

Andai bank sentral global mampu berbuat serupa, yang persis didorong oleh para globalis macam Putin dan sejawat Baratnya, maka pemerintahan global pun akan mampu membiayai tentaranya sendiri, polisinya sendiri, pengadilannya sendiri, birokratnya sendiri, dan lain-lain. Yang diperlukan hanya mencetak “likuiditas”, diam-diam menyita kekayaan umat manusia lewat inflasi persediaan mata uang. Selain mendanai birokrasi pemerintah, para pemimpin keuangan baru ini akan mampu menentukan perusahaan dan negara mana yang akan berkembang dan mana yang akan gagal—sebagaimana Federal Reserve lakukan di AS pada 2008 saat menalangi beberapa entitas yang terlalu besar untuk gagal sambil memastikan yang lain bangkrut.

Putin juga membantu mengglobalisasi rezim regulasi keuangan. Pada awal 2013, ketika Putin memangku kepresidenan G20, dia memuji entitas bernama mencurigakan, “Financial Stability Board” (FSB)—jangan sampai tertukar dengan FSB lain, pengganti KGB Soviet dari mana Putin berasal. FSB baru ini, diduga ditetaskan oleh pemerintahan dan diktator G20, dimaksudkan untuk berfungsi sebagai polisi keuangan global. Itu akan ditempatkan, tentu saja, di entitas bayangan Bank for International Settlements (BIS), sebuah lembaga globalis penting lain.

Menggarisbesarkan akal bulus globalis dalam bukunya tahun 1966, Tragedy and Hope: A History of the World in Our Time, mendiang profesor Universitas Georgetown dan mentor Bill Clinton, Carroll Quigley, seorang globalis teguh, menulis: “Kekuatan kapitalisme keuangan mempunyai sasaran luas, tak lain untuk menciptakan sistem kendali keuangan dunia di tangan swasta yang mampu mendominasi sistem politik setiap negara dan perekonomian dunia secara keseluruhan. Sistem ini akan dikendalikan secara feodal oleh bank-bank sentral dunia yang bertindak bersama menurut kesepakatan rahasia yang dicapai dalam pertemuan dan konferensi privat rutin. Puncak sistem ini adalah Bank for International Settlements di Basel, Swiss, sebuah bank swasta yang dimiliki dan dikendalikan oleh bank-bank sentral dunia yang juga merupakan korporasi swasta.”

Putin Juga Cinta “Tata Kelola” Global

Secara lebih luas, mengenai PBB, yang diatur untuk berfungsi sebagai nukleus “tata kelola global”, Putin lagi-lagi mendukung penuh agenda globalis. Pertimbangkan, sebagai satu contoh saja di antara banyak, sikap sang mantan kepala KGB di tengah hiruk-pikuk belakangan ini terkait Suriah. “Para pendiri PBB paham bahwa keputusan yang mempengaruhi perang dan damai semestinya hanya berlaku melalui konsensus,” tulis Putin dalam New York Times. Obama dan AS dibuat terlihat seperti bajingan penghasut perang dan orang sinting, kontras dengan sang negarawan Rusia yang “bertanggungjawab” (yang tak pernah menyinggung peran masif Soviet dalam menciptakan PBB). “Kearifan mendalam ini telah menopang stabilitas hubungan internasional selama beberapa dasawarsa.”

“Kami tidak sedang melindungi pemerintahan Suriah, tapi hukum internasional,” sambung Putin. “Hukum tetaplah hukum, dan kita harus mengikutinya suka tidak suka. Menurut hukum internasional mutakhir, [penggunaan] kekuatan hanya diperbolehkan dalam pertahanan diri atau dengan keputusan Dewan Keamanan. Apapun selain itu tidak bisa diterima menurut Piagam PBB.”

Sebelum Suriah, Putin dan sekutu Komunis China-nya juga menyokong resolusi PBB yang konon mengesahkan “intervensi” internasional di Libya terhadap bekas sekutu mereka, Muammar Khadafi. Kedua rezim juga mendukung upaya-upaya untuk mengadili para pejabat Libya di cabang pengadilan kanguru milik PBB, si pengaku-ngaku “Mahkamah Pidana Internasional”—tentakel penting “New World Order” lainnya yang diberi dukungan tiada tara oleh Obama (meski tak pernah mendapat ratifikasi di Senat AS).

Sebelum menyanyikan pujian PBB dalam opini editorial New York Times, Putin dan rekan-rekan penguasa BRICS menandatangani sebuah deklarasi yang secara terbuka menyerukan tata kelola global di bawah PBB, mata uang dunia, dan banyak lagi. “PBB menikmati keanggotaan universal dan merupakan pusat tata kelola global,” bunyi pernyataan BRICS tahun 2013. “Kami menegaskan komitmen kami untuk bekerja bersama dalam PBB untuk meneruskan kerjasama kami dan memperkuat pendekatan multilateral dalam hubungan internasional berdasarkan aturan hukum dan terpancang dalam Piagam PBB.” Segala hal, mulai dari teror dan “pemanasan global” hingga penegakan “hak azasi manusia”, harus ditangani oleh PBB, kata mereka.

Dukungan tak tahu malu dari Putin untuk arsitektur tata kelola global hampir tidak mengagetkan. Bahkan, jauh sebelum Putin tampil ke layar, rezim Soviet yang dilayaninya memainkan peran kunci dalam menciptakan PBB, IMF, Bank, Dunia, dan lain-lain pasca Perang Dunia II. Malah banyak dari arsitek penting sistem global yang diduga berkewarganegaraan Amerika—Alger Hiss dan Harry Dexter White, contohnya—di kemudian hari terbongkar sebagai agen Kremlin.

Memang, terlepas dari semua bukti ini, mungkin masih terasa absurd bagi sebagian orang bahwa blok-blok politik dan ekonomi yang saling bermusuhan dan bersaing di kedua kubu Timur-Barat kelak dapat digabung menjadi satu untuk membentuk pemerintahan dunia tulen. Tapi apa yang tidak dapat dicapai hari ini bisa menjadi sangat realistis di masa depan yang tak begitu jauh, seandainya hubungan dingin antara Rusia dan Barat mencair. Hubungan Barat dengan Rusia pernah berubah di masa lalu, ketika Rusia dipandang sebagai musuh (selama Perang Dingin) dan sebagai kawan (selama détente dan glasnost, pasca runtuhnya komunisme Rusia, dan bahkan selama “perang melawan teror” pasca 9/11).

Tentu saja, fakta bahwa Putin adalah pemain kunci di jalan menuju tatanan dunia tidak berarti tak ada pertentangan antara elit Kremlin dan Barat. Juga tidak berarti Putin tak tergantikan—banyak antek globalis telah disingkirkan oleh elit setelah masa kegunaannya lewat.

Terakhir, mandat globalis dan elit yang dipegang Putin hampir tidak menghalangi orkestrasi perang sungguhan antara “Timur” dan “Barat” pada suatu titik, apalagi jika Amerika tak bisa dibujuk untuk menyerahkan kedaulatannya kepada rezim global. Bahkan, tak sedikit analis mengemukakan bahwa Perang Dunia baru antara kedua pihak mungkin sudah ditakdirkan sebagai jalan mempercepat langkah menuju pemerintahan global.

Pada 1962, globalis Lincoln P. Bloomfield dari Institute for Defense Analyses menyusun sebuah laporan untuk Departemen Luar Negeri AS berjudul “A World Effectively Controlled by the United Nations”. Di dalamnya dia menjelaskan bagaimana persaingan atau bahkan peperangan antara rezim-rezim kuat regional dapat secara dramatis mempercepat pencarian pemerintahan global.

“Sebuah proses sejarah ‘normal’, di mana satuan-satuan lebih besar berevolusi melalui serikat pabean, konfederasi, regionalisme, dan lain-lain, sampai akhirnya satuan-satuan besar ini bergabung di bawah payung global, bisa memakan waktu hingga dua ratus tahun, berdasarkan angka kinerja masa lalu, dan ini pun [angka] optimis,” tulis tulis Bloomfield. “Saya sudah kemukakan, sebuah jalan alternatif dapat melangkaui jalan utama sejarah, memperpendek tahapan organik konsensus, pembentukan nilai, dan pengalaman usaha bersama yang umumnya dipercaya mendasari komunitas politik.”

Rencana ini, sebutnya, “mengandalkan krisis parah atau perang untuk menghasilkan transformasi kilat dalam sikap nasional yang cukup untuk maksud ini”. Menggunakan plot demikian, “tatanan” bisa “diwujudkan sebagai hasil dari serangkaian goncangan kilat, kotor, dan traumatis,” jelas Bloomfield. “Dengan begitu sebuah model hipotetis dapat dibangun, memenuhi ciri-ciri ‘dunia yang efektifnya dikendalikan oleh PBB’… Kami simpulkan, secara teori itu dapat terjadi dalam jangka pendek, menengah, atau panjang melalui bayang-bayang perang—atau perang sungguhan—dipadu dengan perkembangan tren evolusioner yang mungkin memihaknya seiring uluran waktu.”

Dengan cara manapun, sementara para globalis meneruskan plot mereka, si kecil Miguel Calehr, kakaknya, dan 296 korban lain dalan penerbangan MH17 kemungkinan besar bukan tragedi “collateral damage” terakhir di jalan menuju tatanan dunia. Kalau rakyat Amerika tidak menjadi terdidik dan terorganisir, New World Order akan melenggang, menyisakan kesengsaraan dan kematian lebih banyak lagi.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.